Leadership


Leadership is a concept which is used by the church and the world, but we should not assume that Christians know and understand the world about the concept is identical.
Also we should not adhere to secular management models without first examining it thoroughly, whether in accordance with Christianity or not. Because Jesus taught a style entirely new leadership like never before.

He stated the difference between the leadership of the old and new in the sense as follows: "You know, that they called the government of nations ruled his subjects with an iron hand, and magnifying, magnifying its power with a strong run over them. It is not so among you, who want to become great among you, let him be your servant, and whoever wants to be the foremost among you, let him be a servant to all. For the Son of man came not to be served but to serve and give His life a ransom for many "(Mark 10:42-45).

For the followers of Jesus, the leader is not synonymous with being the master. Our call is to serve, not to master. Our call is to be a servant and not become king of kings. It is true, leadership is impossible without a certain authority. Without it can not lead anyone, not even the apostles, they are given Jesus' authority and they exercise authority to teach and educate them in obedience to the church.

Also on today's church pastors, although they are not apostles and do not have apostolic authority, must be respected because of their position as "leader" of the church, 1 Thessalonians 5:12 says: "We ask you, brethren, that you should respect those who work hard among you, who lead you in the Lord and who began to rebuke you, and that you should earnestly honor their love for their work. Live always in peace one with another.

even in Hebrews 13:17 must be obeyed: "Obey your leaders and submit to them, for they keep watch over your souls, as those who must be responsible for it ... ... ..."
However, emphasis is placed on the authority of Jesus is not the leader but on-ruling leader-servant humility. Authority by which the Christian leader leads is not power but love, not violence but an example, not coercion but persuasion.
Leaders have power, but power is only safe in the hands of those who humble themselves to serve. The main danger is contained in the leadership of arrogance. The model of leadership style pharisaism no place in the new society being built Jesus. They love to be different levels, such as expressed in the title of "Father, Rabbi, Rabbi" and it's an insult, either against God, the only one who is entitled to that title, as well as against the Christian brotherhood, which the procurement of distinction to be divided.

In the Gospel of Matthew 23:1-12 says: Then said Jesus to the crowds and to His disciples, saying: "The scribes and the Pharisees sit in Moses' seat. Therefore hold fast and do everything they teach you, but do not obey their deeds, because they teach it but do not do it.

They bind heavy burdens, and then put it on the shoulders of people, but they themselves do not want to touch it. All the work they do is meant to be seen of men: they use a prayer rope wide and long tufts; they like to sit in an honored place in the banquet and at the forefront in the synagogue, they like to receive the honor in the market and likes to be called Rabbi.

But you, do you called Rabbi: for one is your Rabbi and you are all brothers. And do not call anyone on earth father, for one is your Father, Him who is in heaven. Do you also called a leader, because only one Guide, even Christ.
The biggest Whoever among you, let him be your servant. And whoever exalts himself, he will be humbled and he who humbled himself shall be exalted.
Let us use the cloak of humility, and serve one another in love, no Christian leadership that can be called authentic, if not marked by a spirit of humility and service with joy.

Kepemimpinan


Kepemimpinan adalah suatu konsep yang sama dipakai oleh gereja maupun dunia, namun kita tidak boleh asumsikan bahwa paham orang Kristen dan paham dunia mengenai konsep itu adalah identik.
Juga kita tidak boleh menganut model-model manajemen sekuler tanpa menelitinya terlebih dahulu secara seksama, apakah sesuai dengan Kekristenan atau tidak. Sebab Yesus mengajarkan suatu gaya kepemimpinan yang sama sekali baru yang belum pernah ada sebelumnya.

Ia menyatakan perbedaan antara kepemimpinan yang lama dan yang baru itu dalam arti sebagai berikut; “Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka.
Tidaklah demikian diantara kamu, barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Markus 10:42-45).

Bagi pengikut-pengikut Yesus, menjadi pemimpin itu tidak sinonim dengan menjadi tuan. Panggilan kita ialah untuk melayani, bukan untuk menguasai. Panggilan kita ialah menjadi hamba dan bukan menjadi raja di raja. Memang benar, kepemimpinan mustahil tanpa otoritas tertentu. Tanpa itu siapapun tak bisa memimpin, tidak terkecuali para rasul, mereka diberikan Yesus otoritas dan mereka menjalankan otoritas itu dalam mengajar dan mendidik ketaatan pada gereja.

Juga kepada para pendeta jemaat masa kini, meskipun mereka bukan rasul dan tidak memiliki otoritas rasuli, harus dihormati karena kedudukan mereka sebagai “pemimpin” jemaat, 1 Tesalonika 5:12 mengatakan: “Kami minta kepadamu, saudara-saudara, supaya kamu menghormati mereka yang bekerja keras di antara kamu, yang memimpin kamu dalam Tuhan dan yang menegor kamu; dan supaya kamu sungguh-sungguh menjunjung mereka dalam kasih karena pekerjaan mereka. Hiduplah selalu dalam damai seorang dengan yang lain.

bahkan dalam kitab Ibrani 13:17 harus ditaati : “Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya………”
Namun, titik berat yang diletakkan Yesus bukanlah atas otoritas pemimpin-penguasa melainkan atas kerendahan hati pemimpin-hamba. Otoritas dengan mana pemimpin Kristiani itu memimpin bukanlah kekuasaan melainkan kasih, bukan kekerasan melainkan teladan, bukan paksaan melainkan persuasi.
Pemimpin-pemimpin memiliki kekuasaan, tapi kekuasaan hanya aman dalam tangan mereka yang merendahkan dirinya untuk melayani. Bahaya utama yang terkandung dalam kepemimpinan adalah keangkuhan. Model kepemimpinan gaya farisi tak ada tempatnya dalam masyarakat baru yang sedang dibangun Yesus. Mereka senang sekali akan perbedaan tingkat, seperti misalnya terungkap dalam gelar “Bapak, Guru, Rabi” padahal ini suatu penghinaan, baik terhadap Allah, satu-satunya yang berhak atas gelar itu, maupun terhadap persaudaraan Kristiani, yang oleh pengadaan pembedaan menjadi terpecah belah.

Dalam Injil Matius 23:1-12 mengatakan: Maka berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya, kata-Nya: "Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya.

Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya. Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang; mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah ibadat; mereka suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil Rabi.

Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. Dan janganlah kamu menyebut siapa pun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di sorga. Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias.
Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.

Marilah kita menggunakan jubah kerendahan hati, dan saling melayani dalam kasih, tidak ada kepemimpinan Kristiani yang dapat disebut autentik, kalau bukan ditandai oleh roh kerendahan hati dan pelayanan dengan sukacita.

Measuring Sticks

"For the Word of God .... Judges our hearts and minds" (Hebrews 4:12), the Word of God is piercing like a very sharp knife that can cut the toughest materials though. In the same paragraph, the Holy Spirit said that the Word of God "penetrates even to dividing soul and spirit".

Two sentences in Hebrews 4:12 shows us that the Word of God can reveal the depths of the human heart, even what can not seem to reach or hidden.
Reading or listening to the Word of God can reveal a very thin difference between the soul and spirit, and reveal whether a person lives in a psychological or spiritual life. The word "distinguished" by the Holy Spirit with a specific purpose to illustrate the role of the Word of God in our lives. In this case we can see that the Word of God provides a standard or "yardstick", as a measure of our lives.

Word of God gives us a way to assess our lives, so we can see if we're living in a way that is pleasing to God or the path that is still far removed from God. But the Bible does not the acts that appeared alone, which seems pure in the eyes of humans, Word also reveals the motivations of the heart, the secrets behind our actions. "... All things naked and open in front of him, that in Him we must give accountability" (Hebrews 4:13, Proverbs 16:2).

There is no interpretation exaggeration to say that the Word of God to test whether human life and the lives outwardly spiritual, physical and spiritual lives together under observation and careful monitoring of the Word of God.
There are times when we may be hesitant to our motivations. Sometimes a false conviction in our hearts breaking, that's the time when the Word of God can be sure or convinced us back and help us to find out how they should respond to God and His work in our hearts. The Holy Spirit will use the Word of God to guide us into all truth.

To avoid the use of the Word of God to judge others, then we must remember what Jesus taught his disciples. In Luke 6:37-42 "Do not ye judge, ye will not be judged ...." Jesus warned of judgmental nature and likes to criticize others, especially when we may be blinded by our own situation even worse in our lives.

Someone quick to judge other people's mistakes and ignore their own weaknesses, will be less useful in the hands of God to set an example to others lives for the glory of Jesus. We can serve God and others well, by the way first and foremost we must apply the power of understanding the Word of God for our own lives.

Tongkat Pengukur


Tongkat Pengukur
“Sebab Firman Allah….sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita” (Ibrani 4:12), Firman Allah sangat menusuk seperti pisau yang sangat tajam yang dapat memotong bahan yang paling keras sekalipun. Dalam ayat yang sama, Roh Kudus berkata bahwa Firman Allah “menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh”.
Dua kalimat di dalam Ibrani 4:12 ini menunjukkan kepada kita bahwa Firman Allah dapat menyingkapkan kedalaman hati manusia, bahkan apa yang kelihatannya tidak dapat terjangkau atau tersembunyi.
Membaca atau mendengarkan Firman Allah dapat menyingkapkan perbedaan yang sangat tipis antara jiwa dan roh, dan mengungkapkan apakah seseorang hidup secara kejiwaan atau hidup secara rohani. Kata “membedakan” oleh Roh Kudus dengan maksud tertentu untuk menggambarkan peran dari Firman Allah dalam hidup kita. Dalam hal ini kita dapat melihat bahwa Firman Allah menyediakan standard atau “tongkat pengukur”, sebagai tolok ukur dalam kehidupan kita.
Firman Allah memberikan kepada kita cara untuk menilai hidup kita, agar kita dapat melihat apakah kita sedang hidup dalam jalan yang berkenan kepada Allah atau jalan yang masih jauh menyimpang dari Allah. Tetapi Alkitab tidak menilai perbuatan-perbuatan yang nampak saja, yang kelihatan murni di mata manusia, FirmanNya juga menyingkapkan motivasi-motivasi hati, rahasia-rahasia yang berada di balik perbuatan-perbuatan kita. “…segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepadaNya kita harus memberi pertanggung jawaban” (Ibrani 4:13, Amsal 16:2).
Tidak ada penafsiran yang berlebihan untuk mengatakan bahwa Firman Allah menguji baik kehidupan manusia secara lahiriah maupun kehidupan rohaninya, kehidupan jasmani dan rohani sama-sama berada dibawah pengamatan dan pengawasan yang cermat dari Firman Allah.
Ada waktunya saat kita mungkin ragu-ragu akan motivasi-motivasi kita. Kadangkala penghukuman palsu menyusup dalam hati kita, itulah saat dimana Firman Allah dapat memastikan atau meyakinkan kita kembali dan menolong kita untuk mengetahui bagaimana seharusnya memberi respon kepada Allah dan pekerjaanNya di dalam hati kita. Roh Kudus akan menggunakan Firman Allah untuk menuntun kita kedalam seluruh kebenaran.
Untuk menghindari penggunaan Firman Allah untuk menghakimi orang lain, maka kita harus mengingat palajaran yang Yesus ajarkan kepada murid-muridNya. Dalam Lukas 6:37-42 “Janganlah kamu menghakimi, maka kamu pun tidak akan dihakimi….” Yesus memperingatkan akan sifat suka menghakimi dan suka mengkritik orang lain, khususnya ketika kita mungkin buta oleh keadaan kita sendiri yang malah lebih buruk dalam hidup kita.
Seseorang yang cepat menghakimi kesalahan orang lain dan mengabaikan kelemahan-kelemahannya sendiri, akan menjadi kurang berguna ditangan Allah untuk memberi teladan kehidupan kepada orang lain bagi kemuliaan Yesus. Kita dapat melayani Tuhan dan orang lain dengan baik, dengan cara pertama-tama dan yang terutama kita harus mengaplikasikan kuasa pemahaman Firman Allah bagi hidup kita sendiri.

Marriage


"Therefore a man will leave his father and mother and be united to his wife, so that they become one flesh". (Genesis 2:24).
Based on this verse, we may conclude, that for God's marriage is when a man broke away from his parents to bond with his wife and become one flesh with him.
'separation' and 'merge' is included in the particulars and must take place in that order. Meaning is the replacement of a single human bonds (child-parent) with other human bond (husband-wife). There are some similarities in the two bonds, since both relations are the same complex and contains various elements.
There is a physical element (the one in the form conceived, born and breastfed and the other in the form of intercourse), the emotional elements (growing up, as the process of development of dependency relationship of childhood to maturity with the partner relationship as lively as dead), and social elements (child children inherit a family unit already exists, husband and wife creates a new unit).
But there is also an essential inequality between the two, because the biblical phrase 'one flesh' indicates that the unity of husband and wife physically, emotionally and socially is far more profound and mysterious than the personal nature of the relationship between the children with their parents, so can say: " failure to achieve a minimum of emotional self-sufficiency is one of the main precursor destruction of marriage.
Genesis 2:24 implies that marriage is the exclusive bond (a man ... and ... his wife) with the consent of a lot (leaving his father and mother), permanent (together with his wife), achieved through intercourse kegenapannya (become one flesh).
Thus, the biblical definition of marriage which read as follows: "Marriage is a bond that promises exclusive and heterosexual between one man and one woman, ordained and established by God, preceded by the departure of leaving parents with the knowledge of the crowd, reached the fulness is fully in intercourse, became a permanent partner support each other, and usually crowned with the conferment of the children '.
Any one can not cancel the wedding, but in reality percerain (breaking the bonds of marriage) from year to year higher, sociological causes of this increase in divorce rates and a variety of many kinds. This includes the emancipation of women, changes in subsistence patterns (both parents working) pressures of family life due to unemployment and financial difficulties and would also ease given the marriage law to divorce, but above all it was the most decisive reason for the collapse of marriage is the image of the decline of Christian faith is waning along with the commitment to the Christian understanding of the sanctity and permanence of marriage.
Divorce is allowed in extreme circumstances certain but if it is allowed, breaking the bond that remains a deviation from the intent and will of God, in principle, marriage is a lifelong bond and divorce is a breach of contract, an act of betrayal.
As God ... hates ... (Malachi 2:13-16).

Perkawinan

“Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. (Kejadian 2:24).
Berdasarkan ayat ini kita dapat menarik kesimpulan, bahwa bagi Allah perkawinan adalah kalau seorang laki-laki memisahkan diri dari orangtuanya untuk menyatu dengan istrinya dan menjadi sedaging dengan dia.
‘memisahkan diri’ dan ‘menyatu’ ini termasuk dalam satu ihwal dan harus berlangsung dalam urutan itu. Maknanya adalah penggantian dari ikatan manusiawi yang satu (anak-orangtua) dengan ikatan manusiawi yang lain (suami-istri). Ada beberapa kesamaan dalam kedua ikatan itu, sebab kedua relasi itu sama kompleks dan mengandung berbagai unsur.

Ada unsur fisik (yang satu dalam bentuk dikandung, dilahirkan dan disusui dan yang lain dalam bentuk persetubuhan), unsur emosional (bertumbuh, selaku proses perkembangan dari hubungan ketergantungan semasa kanak-kanak ke hubungan kedewasaan dengan mitra sehidup semati), dan unsur sosial (anak-anak mewarisi suatu unit keluarga yang sudah ada, suami-istri menciptakan unit yang baru).

Namun ada ketidaksamaan yang esensial juga antara keduanya, sebab ungkapan Alkitabiah ‘satu daging’ menandakan bahwa kesatuan suami istri secara fisik, emosional dan sosial adalah jauh lebih mendalam dan misterius sifat personalnya daripada relasi antara anak-anak dengan orangtua, sehingga dapat di katakan: “kegagalan mencapai suatu minimum kemandirian emosional merupakan salah satu cikal bakal utama kehancuran perkawinan.
Kejadian 2:24 mengimplikasikan bahwa perkawinan adalah ikatan ekslusif (seorang laki-laki…dan...istrinya) dengan sepengetahuan orang banyak (meninggalkan ayahnya dan ibunya), permanen (bersatu dengan istrinya), mencapai kegenapannya melalui persetubuhan (menjadi satu daging).

Dengan demikian maka definisi perkawinan yang Alkitabiah bunyinya sebagai berikut: ‘Perkawinan adalah suatu ikatan janji yang ekslusif dan heteroseksual antara satu orang laki-laki dan satu orang perempuan, ditahbiskan dan dikukuhkan oleh Allah, didahului oleh kepergian meninggalkan orangtua dengan sepengetahuan orang banyak, mencapai kegenapan yang sepenuhnya dalam persetubuhan, menjadi suatu pasangan yang permanen saling menopang, dan biasanya dimahkotai dengan penganugerahan anak-anak’.

Suatu apapun tak dapat membatalkan perkawinan, namun kenyataannya percerain (pemutusan ikatan perkawinan) dari tahun ke tahun semakin tinggi, sebab musabab sosiologis peningkatan angka perceraian ini banyak dan beragam macam. Termasuk di dalamnya emansipasi kaum wanita, perubahan dalam pola pencarian nafkah (kedua orangtua bekerja) tekanan atas hidup kekeluargaan akibat pengangguran dan kesulitan finansial dan tentu juga kemudahan yang diberikan undang-undang perkawinan untuk perceraian, namun di atas segala-galanya itu alasan yang paling menentukan bagi ambruknya citra perkawinan ialah kemunduran iman Kristen bersamaan dengan itu memudarnya komitmen terhadap pemahaman Kristiani tentang kesucian dan keabadian perkawinan.

Perceraian diperbolehkan dalam keadaan-keadaan ekstrim tertentu namun jika itu diperbolehkan, pemutusan ikatan itu tetap merupakan penyimpangan dari maksud dan kehendak Allah, pada prinsipnya perkawinan adalah suatu ikatan seumur hidup dan perceraian adalah pelanggaran perjanjian, suatu tindakan penghianatan.
Seperti dikatakan Allah… dibenciNya… (Maleakhi 2:13-16).

The Image of Christ

A shadow is a person, object or event that is a prophetic symbol of someone or something that will come. "Shadows" biblical like this or have similar characteristics of the individual or event in question. For example, the Passover lamb is there in Exodus 11 and 12 is a shadow of Christ.
Role of blood atonement and the protection of the Passover Lamb in the prophecy of Christ shows the role that will fulfill when He died for the sins of the whole world. The image of the Old Testament Passover lamb which precedes the fulfillment of the new covenant of Christ, the Lamb of God.

Another example is the Old Testament laws of God, which is described in Hebrews 10:1 as "the shadow only of the salvation that will come, and not the nature of salvation itself. Therefore with the same victim, who continually offered every year, the law can not be perfect those who come to take part in it. "
Because of what Christ did, then the animal sacrifices are no longer required for the redemption of sin. What Christ has to do is sacrifice "once and for all" for sin and salvation is available to all who received him wherever he is at all times (John 3:16; Hebrew 9:11-12, 23-28, 10 : 10, 1 Peter 3:18).

The image of the Old Testament is not yet perfect, God planned it that way because this is only a shadow of what will take place entirely within the bounds of the New Testament affirmed by Christ. Intervention of God with His people throughout history to change His plan for mankind while more and more open. The Mosaic law has so many rules given to the Israelites to prepare them for the coming of the Son of God. Galatians 3:24-25 says, "So the law is a guide for us until Christ came, so we are justified by Faith. Now that faith has come, we are no longer under the supervision of a guide " ( Romans 7:6).

It is wrong to insist that the special rules designed for the good of the nation of Israel at a time in the history of the person charged to the Christian today. An example of this is for instance the food laws of the nation of Israel. This law may be useful for the health of a person, but to assert that these laws is the law of God for all time would constitute a serious misinterpretation.
Paul says in Colossians 2:20-23 that the rules about what we eat can not save us, and that the only justification by faith in Christ is sufficient for salvation (Acts 10:9-16, 1 Corinthians 8:8, 10:3).

Another example is the collection of the Mosaic law on the need to sacrifice animals on a regular basis so that the forgiveness granted by God. In the book of Hebrews chapter 9 and 10, demonstrated the absolute superiority of Christ's sacrifice on the "blood of the goat and the blood of bulls and heifer sprinkling of ash ... how the blood of Christ, who by the eternal Spirit who had offered himself to God as a sacrifice irreproachable, will purify our consciences from acts that waste, so that we can worship the living God."

It is important to understand that God in the history of the progressive states the plan of salvation, the highest yield of the plan that has been established by God is death and resurrection of His Son.
This does not mean that the eternal principles of Old Testament had been knocked out but on the contrary, these principles have formed the Old Testament, to lead us to the revelation of God is very important and that His Son Jesus Christ.




Bayangan Kristus

Sebuah bayangan adalah sebuah pribadi, objek atau peristiwa yang merupakan simbol nubuatan dari seseorang atau sesuatu yang akan datang. “Bayangan” Alkitabiah seperti ini mirip dengan atau memiliki karakteristik dari pribadi atau peristiwa dimaksud. Sebagai contoh, domba paskah yang terdapat dalam Keluaran 11 dan 12 adalah sebuah bayangan dari Kristus.
Peran penebusan dan perlindungan dari darah Anak Domba Paskah secara nubuatan menunjukan peran yang akan Kristus genapi ketika Dia mati bagi dosa seluruh dunia. Bayangan Perjanjian Lama Domba Paskah mendahului penggenapan Perjanjian Baru yaitu Kristus, Anak Domba Allah.

Contoh lain adalah hukum-hukum Perjanjian Lama dari Allah, yang digambarkan dalam Ibrani 10:1 Sebagai “bayangan saja dari keselamatan yang akan datang, dan bukan hakekat dari keselamatan itu sendiri. Karena itu dengan korban yang sama, yang setiap tahun terus menerus dipersembahkan, hukum taurat tidak mungkin menyempurnakan mereka yang datang mengambil bagian di dalamnya.”

Karena apa yang Kristus lakukan, maka korban binatang tidak diperlukan lagi untuk tebusan dosa. Apa yang Kristus telah lakukan adalah korban “sekali untuk selama-lamanya” bagi dosa dan cukup tersedia untuk keselamatan semua orang yang menerima Dia dimanapun ia berada pada segala waktu (Yohanes 3:16; Ibrani 9:11-12, 23-28, 10:10, 1 Petrus 3:18).
Bayangan Perjanjian Lama ini belum sempurna, Allah memang merencanakannya demikian karena ini hanyalah bayangan dari apa yang akan digenapi seluruhnya di dalam ikatan Perjanjian Baru yang diteguhkan oleh Kristus. Campur tangan Allah dengan Umat-Nya berubah sepanjang sejarah sementara rencana-Nya bagi umat manusia semakin terbuka. 
Hukum Musa memiliki begitu banyak peraturan diberikan kepada bangsa Israel untuk mempersiapkan mereka bagi kedatangan Anak Allah. Galatia 3:24-25 berkata, “Jadi hukum taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena Iman. Sekarang Iman itu telah datang, karena itu kita tidak lagi berada di bawah pengawasan penuntun” (lht juga Roma 7:6).

Adalah salah untuk bersikeras bahwa peraturan-peraturan khusus dirancang untuk kebaikan bangsa Israel pada suatu waktu dalam sejarah dibebankan ke atas orang Kristen sekarang ini. Sebuah contoh dari hal ini misalnya hukum tentang makanan dari bangsa Israel. Mungkin hukum ini berguna bagi kesehatan seseorang, tetapi untuk memaksakan bahwa hukum-hukum ini adalah hukum Allah untuk segala waktu akan merupakan kesalahan penafsiran yang serius.

Paulus mengatakan dalam Kolose 2:20-23 bahwa peraturan-peraturan tentang apa yang kita makan tidak dapat menyelamatkan kita, dan bahwa hanya pembenaran oleh Iman di dalam Kristus sudah cukup untuk keselamatan (Kisah 10:9-16, 1 Korintus 8:8, 10:3).
Contoh lain adalah kumpulan hukum Musa tentang perlunya korban binatang secara rutin supaya pengampunan diberikan oleh Allah. 

Dalam kitab Ibrani pasal 9 dan 10, ditunjukkan keunggulan mutlak dari pengorbanan Kristus atas “darah domba jantan dan darah lembu jantan dan percikan abu lembu muda…betapa lebihnya darah Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada Allah yang hidup.”

Sangat penting untuk dimengerti bahwa Allah dalam sejarah secara progresif menyatakan rencana keselamatanNya, hasil tertinggi dari rencana yang telah ditetapkan oleh Allah adalah kematian dan kebangkitan Anak-Nya. Ini tidak berarti bahwa prinsip kekal dari Perjanjian Lama telah tersingkir tetapi sebaliknya, prinsip-prinsip Perjanjian Lama telah terbentuk, untuk memimpin kita kepada pewahyuan Allah yang sangat penting yaitu AnakNya Yesus Kristus.





Music From Heaven

Music is a gift or creation of God, the basics of what we consider is the truth of the Word of God in the Bible. God is the creator of the universe and that includes the music of this world, where there is a rhythm of the music movement of the sentence as a whole. Music without rhythm melody only just equal to the tent that there is no frame, a rhythm that's what turned the music or songs.

Likewise, the melody; a continuum and blend of tones and intervals (intervals) that was formed as a union as well as the harmony is a harmony between one tone with another tone.
Why is this allowed to happen? is this just a coincidence? certainly not not! this occurs because there is He the creator, God the creator of music. The Bible also shows the beginning of the music (Genesis 4:21) Yubal known as the father of all the people who play the flute and harp.

In Israel's worship music plays an important role 1 Chronicles 15:16,"David commanded the leaders of the Levites to assign various Levites to sing and to play joyful music on harps and cymbals.... So all the Israelites accompanied the Covenant Box up to Jerusalem with shouts of joy, the sound of trumpets, horns, and cymbals, and the music of harps.

And 2 Chronicles 29:25, 28 "The king followed the instructions that the LORD had given to King David through Gad, the king's prophet, and through the prophet Nathan; he stationed Levites in the Temple, with harps and cymbals... Everyone who was there joined in worship, and the singing and the rest of the music continued until all the sacrifices had been burned.

As well as with Luke 2:13-14 that the heavenly army praising God, from several parts of God's word, we can discover that God loves music, so in His people worship and worship music is always there. This shows that God loves gifts of music that is played well and with sincerity of heart. He wanted and missed rejoice with His children. God dwells on the praises of Israel (Psalm 22:4).

The power of God is also expressed through music (1 Samuel 16:14-23). David playing the harp well, and through it the evil spirit out of Saul.
There are two important elements in which God reveals His power:

First, the attitude and the way we played there we really play for the glory of God's name? or are we just playing and not serious in any of our church services?

Second, how people play, attitude and relationship with God. Two things are very important, so that the power of God is revealed and glorified the Father in Heaven.

For us there is no middle ground or compromise, if we are involved with the music or songs that do not glorify God so take a decision to repent and leave this bad habit before it was time the judgments of God are eternal, our task now is to restore music to the purpose and intent actually, the music comes from God which can be used by Satan to bring people away from God and blaspheming God.
Therefore even let you selectively reject firmly and accurately pergunakanlah music, the aim is that the word of God can be communicated clearly and glorified the Father in Heaven.














Musik Dari Sorga

Musik adalah pemberian/ciptaan Allah, hal mendasar dari yang kita perhatikan ialah kebenaran Firman Allah dalam Alkitab. Allah adalah pencipta Alam semesta dan itu termasuk musik yang ada didunia ini, dimana ada ritme yaitu gerakan dari kalimat musik sebagai kesatuan. Musik tanpa ritme hanya melodi saja sama dengan tenda yang tidak ada kerangkanya, ritme itulah yang menghidupkan musik atau lagu.

Demikian juga dengan melodi; suatu rangkaian kesatuan dan paduan dari nada serta interval-interval (jarak waktu) yang dibentuk sebagai kesatuan begitu juga dengan harmoni yaitu suatu keselarasan antara nada yang satu dengan nada yang lain.
Mengapa hal itu boleh terjadi? apakah ini hanya suatu kebetulan? tentu tidak bukan! hal ini terjadi karena ada penciptanya yaitu Dia, Allah pencipta musik. Alkitab juga menunjukkan awal terjadinya musik (Kejadian 4:21) Yubal disebut sebagai bapak semua orang yang memainkan seruling dan kecapi.

Dalam ibadah bangsa Israel musik memegang peranan penting, 1 Tawarikh 15:16 mengatakan: "Daud memerintahkan para kepala orang Lewi itu, supaya mereka menyuruh berdiri saudara-saudara sepuak mereka, yakni para penyanyi, dengan membawa alat-alat musik seperti gambus, kecapi dan ceracap, untuk memperdengarkan dengan nyaring lagu-lagu gembira" bahkan pada ayat 28 "Seluruh orang Israel mengangkut tabut perjanjian TUHAN itu dengan diiringi sorak dan bunyi sangkakala, nafiri dan ceracap, sambil memperdengarkan permainan gambus dan kecapi".

2 Tawarikh 29:25, Ia menempatkan orang-orang Lewi di rumah TUHAN dengan ceracap, gambus, dan kecapi sesuai dengan perintah Daud dan Gad, pelihat raja, dan nabi Natan, karena dari TUHAN-lah perintah itu, dengan perantaraan nabi-nabi-Nya.... Seluruh jemaah sujud menyembah sementara nyanyian dinyanyikan dan nafiri dibunyikan. Semuanya itu berlangsung sampai korban bakaran habis terbakar (Ayat 28).

Demikian juga halnya dengan Lukas 2:13-14 bahwa tentara Sorgawi memuji Allah, dari beberapa bagian firman Tuhan ini kita dapat menemukan bahwa Allah menyukai musik, sehingga dalam ibadah dan penyembahan umatNya musik selalu ada. Hal ini menunjukkan bahwa Allah menyukai musik yang merupakan pemberianNya yang dimainkan secara baik dan dengan kesungguhan hati. Dia ingin dan rindu bersukacita dengan anak-anakNya. Allah bersemayam diatas puji-pujian orang Israel (Mazmur 22:4).
Kuasa Allah juga dinyatakan melalui musik (1 Samuel 16:14-23). Daud memainkan kecapinya dengan baik dan melalui itu roh jahat keluar dari Saul.
Ada dua unsur penting di mana Allah menyatakan kuasaNya:

Pertama,
sikap dan cara memainkan musik kita adakah kita sungguh-sungguh memainkannya untuk kemuliaan nama Tuhan? ataukah kita hanya main-main dan tidak bersungguh-sungguh dalam setiap ibadah di gereja kita?
Untuk mengundang hadirat Tuhan dalam setiap ibadah, musik memainkan peran penting di dalamnya karena itu sikap dan cara kita dalam memainkan musik sangatlah penting, memainkan musik dengan cara yang tidak benar akan mengacaukan suasana ibadah.

Rasul Paulus mengatakan di dalam 1 Korintus 14:15 Jadi, apakah yang harus kubuat? Aku akan berdoa dengan rohku, tetapi aku akan berdoa juga dengan akal budiku; aku akan menyanyi dan memuji dengan rohku, tetapi aku akan menyanyi dan memuji juga dengan akal budiku. Lebih jauh Rasul Paulus mencontohkan bahwa totalitas sikap dan cara kita dalam memainkan musik mencakup roh dan akal budi.

kedua, bagaimana orang memainkannya, sikap hati dan juga hubungan kita dengan Allah.
Sikap hati atau hubungan kita yang baik dengan Allah akan membuat musik itu akan terasa menyatu dalam hadirat Tuhan, jika hubungan kita dengan Tuhan tidak baik maka kita tidak akan merasakan sesuatu yang luar biasa dalam musik, kita masih bisa memainkan musik tapi untuk membawa hadirat Tuhan hadir dalam ibadah akan terasa sangat berat .

Dua hal ini sangat penting, sehingga kuasa Allah dinyatakan dan Bapa di Sorga dimuliakan.
Bagi kita tidak ada jalan tengah atau kompromi, jika saat ini kita terlibat dengan musik atau nyanyian yang tidak memuliakan Allah maka ambillah keputusan untuk bertobat dan tinggalkan kebiasaan buruk ini sebelum tiba waktunya penghakiman Allah yang kekal, tugas kita sekarang adalah mengembalikan musik pada tujuan dan maksud yang sebenarnya, musik berasal dari Tuhan yang dapat dipakai oleh Iblis untuk membawa manusia jauh dari Allah dan menghujat Allah.

Sebab itu hendaklah saudara selektif bahkan menolak dengan tegas dan pergunakannlah musik secara tepat, tujuannya adalah agar firman Tuhan dapat disampaikan dengan jelas dan Bapa di Sorga dimuliakan.

Career Woman or Female Kitchen

Various seminars on women's career has been held, but until now has not a single one who could answer the woman's struggle completely. They remain problematic, "Career or Kitchen" especially in Indonesia.

The emergence of women in top positions, it makes the men marveled at a time of anxiety, so do not be surprised if a group of men searching for their vulnerable point. Women are considered less practical way of thinking, emotional, vulnerable, easily influenced state, and others.

But after a woman with a dual role, as well as the kitchen has a tendency career involved more problems than those who have not / do not settle down, things like the health of children, live with in-laws, husbands are often on duty outside the city and many more problems faced and all that could be the cause of severe stress.

These things are a little more influence thinking or attitudes in the workplace, even if it included women "Iron" indifferent household environment.
Psalm 128:3 matron called as "Fruit Wine" a sweet (and his words said), and the limbs are not sturdy enough to build the foundations of buildings. It is clear that the wife is not obliged even not recommended to be the backbone of the family (who had worked furiously to make a living from morning till night) while my husband and children are neglected.

In another part, the Word of God explained that the wife is required to explore inner beauty, hope fully surrender to God and to love and submit to the authority of the husband as the representative of God on Earth and the husband shall be subject to Christ, of course.

Likewise, ye wives, be in subjection to your own husbands; that, if any obey not the word, they also may without the word be won by the conversation of the wives; While they behold your chaste conversation coupled with fear.

Whose adorning let it not be that outward adorning of plaiting the hair, and of wearing of gold, or of putting on of apparel; But let it be the hidden man of the heart, in that which is not corruptible, even the ornament of a meek and quiet spirit, which is in the sight of God of great price.

For after this manner in the old time the holy women also, who trusted in God, adorned themselves, being in subjection unto their own husbands: Even as Sara obeyed Abraham, calling him lord: whose daughters ye are, as long as ye do well, and are not afraid with any amazement.

Likewise, ye husbands, dwell with them according to knowledge, giving honour unto the wife, as unto the weaker vessel, and as being heirs together of the grace of life; that your prayers be not hindered. (1 Peter 3:1-7)

Even so, Proverbs 31:10-31 clearly describes the ideal wife, manage his household and work diligently. He knew exactly when her husband and his family needed his presence. Likewise, he knows when to go out and work. He is not just a clever divide the time, but even more so he adept support her husband. He submits to her husband, but also not lazy thinking about the future of his family. It was great, my husband and children praise and call it happy!

Women have a very heavy responsibility, but really only one vocation, namely to serve. Hand, the portion of that option should be taken .. when he decided to serve more in the household, and when he must be outside his home. Each has a basic consideration in accordance with the conditions of the family, ages of children, the needs of surrounding communities, the economic level, education level, and most importantly God's call.

There is one passage in the Bible which tells of a woman's courage in saving a nation, he was the Queen Esther. He took the role of the Big Shot to help his people, a huge service sector. Consideration should be cooked properly because one little step, to sacrifice his household. But we know how God used Esther eventually to serve and save the Jewish nation, while also strengthening the household of God!
What about you as a wife who has a husband and mother of the children? "Success is not determined by place of women as well as the type of work, but by his sincerity in regulating employment and their households."

Wanita Karir atau Wanita Dapur

Berbagai seminar mengenai wanita karier telah diadakan, namun hingga saat ini belum satu pun yang mampu menjawab pergumulan para wanita secara tuntas. Mereka tetap bermasalah, “Karier atau Dapur” khususnya di Indonesia.
Munculnya wanita-wanita di posisi puncak, memang membuat kaum pria kagum sekaligus was-was, sehingga tidak heran bila sekelompok pria mencari-cari titik rawan mereka. Wanita dianggap kurang praktis cara berpikirnya, emosional, rentan, mudah terpengaruh keadaan, dan lain-lain.
Tetapi bagaimanapun seorang wanita dengan peran ganda, karier sekaligus dapur memiliki kecenderungan terlibat lebih banyak masalah dibandingkan mereka yang belum/tidak berumah tangga, hal-hal seperti kesehatan anak, tinggal serumah dengan mertua, suami sering bertugas keluar kota dan masih banyak lagi permasalahan yang dihadapi dan semua itu dapat menjadi sebab stres yang berat.

Hal-hal ini sedikit banyak mempengaruhi pemikiran atau sikap di tempat kerjanya, sekalipun ia termasuk wanita “Besi” yang tak acuh lingkungan rumah tangga. Mazmur 128:3 menyebut wanita bersuami sebagai “Buah Anggur” yang manis (tutur kata dan hatinya), dan yang dahannya tidak cukup kokoh untuk membangun fondasi bangunan. Jelas bahwa istri tidak wajib bahkan tidak dianjurkan menjadi tulang punggung keluarga (yang harus bekerja mati-matian mencari nafkah dari pagi hingga malam hari) sementara suami dan anak-anak terabaikan.

Di bagian lain, 1 Petrus 3:1-7 memaparkan bahwa istri diwajibkan untuk menggali keindahan batiniahnya, menyerahkan harapan sepenuhnya kepada Allah dan mengasihi serta tunduk kepada otoritas suami sebagai wakil Allah di Bumi dan suami wajib tunduk pada Kristus tentunya.
Walaupun begitu, Amsal 31:10-31 dengan jelas menggambarkan istri yang ideal, mengatur rumah tangganya sekaligus bekerja dengan rajin. Ia tahu persis kapan suami dan keluarganya membutuhkan kehadirannya. Begitu pula, ia tahu kapan harus keluar rumah dan bekerja. Ia bukan hanya pandai membagi waktu, tetapi terlebih lagi ia mahir menyokong suaminya. Ia tunduk kepada suaminya, tetapi juga tidak malas memikirkan masa depan keluarganya. Sungguh luar biasa, suami dan anak-anaknya memuji dan menyebutnya berbahagia!

Wanita memiliki tanggung jawab yang sangat berat, tapi sebenarnya hanya satu panggilannya, yaitu melayani. Ditangannya, porsi pilihan itu harus diambil..kapan ia memutuskan untuk lebih banyak melayani di dalam rumah tangganya, dan kapan ia harus berada di luar rumahnya. Masing-masing memiliki dasar pertimbangan sesuai dengan kondisi keluarga, usia anak-anak, kebutuhan masyarakat sekitar, tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, dan yang terpenting panggilan Tuhan.

Ada satu bagian dalam Alkitab yang menceritakan keperkasaan seorang wanita dalam hal menyelamatkan sebuah bangsa, dialah Ratu Ester. Ia mengambil peranan maha penting untuk menolong rakyatnya, satu bidang pelayanan yang besar sekali. Pertimbangannya harus matang benar karena salah langkah sedikit, dapat mengorbankan rumah tangganya. Tetapi kita tahu bagaimana Allah akhirnya memakai Ester untuk melayani dan menyelamatkan bangsa Yahudi, sekaligus Allah juga memperkokoh rumah tangganya!
Bagaimana dengan anda sebagai seorang istri yang memiliki suami dan ibu dari anak-anak? “Sukses wanita tidak ditentukan oleh tempat maupun jenis pekerjaannya, tetapi oleh kesungguhannya di dalam mengatur pekerjaan dan rumah tangganya”.

Circumcision In The Church

The Old Testament is talking about physical circumcision as a sign or seal the agreement, between God and Abraham and his descendants, upon granting the truth of God, where God chooses and marks his own people.

"And God said unto Abraham, Thou shalt keep my covenant therefore, thou, and thy seed after thee in their generations. This is my covenant, which ye shall keep, between Me and you and thy seed after thee; Every man child among you shall be circumcised. And ye shall circumcise the flesh of your foreskin; and it shall be a token of the covenant between Me and you. "(Genesis 17 :9-11)

"And he received the sign of circumcision, a seal of the righteousness of the faith which he had yet being uncircumcised: that he might be the father of all them that believe, though they be not circumcised; that righteousness might be imputed unto them also: And the father of circumcision to them who are not of the circumcision only, but who also walk in the steps of that faith of our father Abraham, which he had being yet uncircumcised." (Romans 4:11-12).

In addition each member is required to express it outwardly agreement with obeying the law of God, with the firm are also required to Abraham: "I am the Almighty God; walk before me, and be thou perfect."(Genesis 17:1).

Circumcision is outwardly manifest, implement the promise and called on people to live in obedience based on the agreements that have made expensive demands of God, which is demanding the reality of its application according to the sign of circumcision, the Word of God says ... .. I will punish the people who have been circumcised foreskin ... .. because all nations are not circumcised and all the people of Israel uncircumcised heart (Jeremiah 9:25-26).
Can we on the demands it?
Therefore the Lord Jesus came to fulfill the law, "Think not that I am come to destroy the law, or the prophets: I am not come to destroy, but to fulfill." (Matthew 5:17).
The New Testament clearly and definitely say that without obedience, physical circumcision is futile. In Romans 2:23-29 says: "You boast in the law, do you dishonor God by breaking the law? As it is written: "because of you the name of God is blasphemed among the Gentiles."

Circumcision is of no use, if you obey the law, but if you break the law, your circumcision you no longer use. So if the uncircumcised attention to the demands of the law, would not he be considered the same as people who have been circumcised? If so, then the person who is not circumcised, but that the law, will judge you who have written law and circumcision, but who violate the law.

Because the so-called Jews are not the ones who outwardly Jewish, and the so-called circumcision, circumcision is not the place it outwardly. But the true Jew is he who does not look Jewish and circumcision is circumcision of the heart, spiritually, not literally. And the praise is not from men but from God. "

Circumcision is of no use, if you obey the law, but if you break the law, then your circumcision is no longer any good. Outward sign of fade without meaning when compared to obey God's commandments. "If a state is called in uncircumcision, he must not try to negate the sign of circumcision. And if a call in a state not circumcised, he must not want to be circumcised. For neither circumcision nor uncircumcision important. The important thing is to obey the laws of God. "(1 Corinthians 7:18-19).

Long before the New Testament, the Word of God had said in Deuteronomy 10:16, "Therefore circumcision is your heart and do not you rigid neck again."
So the heart circumcision is not a new command in the New Testament but already since the time of the Old Testament when Moses received the command of God to the Israelites.
Therefore we need a "Circumcision of Christ" or the circumcision of the calendar will be the body's heart is sinful that is a spiritual act that was not done by human hands but a relationship with Christ in His death and resurrection.

The Word of God in Colossians 2:13 says: "You too, although you were dead by the offense and therefore is not circumcised outwardly, has turned God along with Him, after He forgave all our sins, by eliminating debt, which by legal provisions to charge and threaten us. And that eliminated him by nailing on the cross. "

All were sealed by the regulatory acceptance of new agreements, "In Him you were circumcised, not with a circumcision done by humans, but with the circumcision of Christ, which consists of the calendar will be the body of sin, (Colossians 2:11-12).
So a Christian is one who circumcised himself, "It is we the people circumcised hearts, who worship by the Spirit of God and glory in Christ Jesus and put no confidence to the flesh. "Therefore circumcision is your heart and you do not anymore rigid neck" (Deuteronomy 10:16).

Sunat Dalam Gereja

Perjanjian Lama berbicara tentang sunat lahiriah ialah sebagai tanda perjanjian atau meterai, antara Allah dan Abraham serta keturunannya, atas pemberian kebenaran dari Allah, dimana Allah memilih dan menandai orang-orang milik-Nya.

“Firman Allah kepada Abraham: "Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun.
Inilah perjanjian-Ku, yang harus kamu pegang, perjanjian antara Aku dan kamu serta keturunanmu, yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat; haruslah dikerat kulit khatanmu dan itulah akan menjadi tanda perjanjian antara Aku dan kamu”.( Kejadian 17:9-11)

“Dan tanda sunat itu diterimanya sebagai meterai kebenaran berdasarkan iman yang ditunjukkannya, sebelum ia bersunat. Demikianlah ia dapat menjadi bapa semua orang percaya yang tak bersunat, supaya kebenaran diperhitungkan kepada mereka, dan juga menjadi bapa orang-orang bersunat, yaitu mereka yang bukan hanya bersunat, tetapi juga mengikuti jejak iman Abraham, bapa leluhur kita, pada masa ia belum disunat”. (Roma 4:11-12).

Selain setiap anggota perjanjian diwajibkan menyatakannya secara lahiriah dengan menaati hukum Allah, dengan tegas juga dituntut kepada Abraham “Hiduplah dihadapan-Ku dengan tidak bercela”. (Kejadian 17:1).

Sunat lahiriah menjelmakan, menerapkan janji dan menghimbau orang untuk hidup dalam ketaatan sesuai perjanjian bahwa ada tuntutan yang mahal yang dibuat Allah, yaitu menuntut realitas penerapannya sesuai tanda sunat itu, Firman Tuhan katakan…..Aku menghukum orang-orang yang telah bersunat kulit khatannya…..sebab segala bangsa tidak bersunat dan segenap kaum Israel tidak bersunat hatinya (Yeremia 9:25-26).
Mampukah kita atas tuntutan itu?
Oleh karena itu Tuhan Yesus datang untuk menggenapkan hukum Taurat, “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau Kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya” (Matius 5:17).
Perjanjian Baru dengan tegas dan pasti mengatakan bahwa tanpa ketaatan, sunat lahiriah adalah sia-sia. Dalam Roma 2:23-29 katakan: “Engkau bermegah atas hukum Taurat, mengapa engkau sendiri menghina Allah dengan melanggar hukum Taurat itu? Seperti ada tertulis: "Sebab oleh karena kamulah nama Allah dihujat di antara bangsa-bangsa lain."

Sunat memang ada gunanya, jika engkau mentaati hukum Taurat; tetapi jika engkau melanggar hukum Taurat, maka sunatmu tidak ada lagi gunanya. Jadi jika orang yang tak bersunat memperhatikan tuntutan-tuntutan hukum Taurat, tidakkah ia dianggap sama dengan orang yang telah disunat? Jika demikian, maka orang yang tak bersunat tetapi yang melakukan hukum Taurat, akan menghakimi kamu yang mempunyai hukum tertulis dan sunat, tetapi yang melanggar hukum Taurat.

Sebab yang disebut Yahudi bukanlah orang yang lahiriah Yahudi, dan yang disebut sunat, bukanlah sunat yang dilangsungkan secara lahiriah. Tetapi orang Yahudi sejati ialah dia yang tidak nampak keyahudiannya dan sunat ialah sunat di dalam hati, secara rohani, bukan secara hurufiah. Maka pujian baginya datang bukan dari manusia, melainkan dari Allah”.

“Sunat memang ada gunanya, jika engkau mentaati hukum Taurat; tetapi jika engkau melanggar hukum Taurat, maka sunatmu tidak lagi ada gunanya.
Tanda lahiriah pudar tanpa arti jika dibandingkan dengan menaati perintah-perintah Allah. “Kalau seorang dipanggil dalam keadaan bersunat, janganlah ia berusaha meniadakan meniadakan tanda-tanda sunat itu. Dan kalau seorang dipanggil dalam keadaan tidak bersunat, janganlah ia mau bersunat. Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak penting. Yang penting ialah mentaati hukum-hukum Allah.” (1 Korintus 7:18-19). Jauh sebelum Perjanjian Baru, Firman Tuhan telah katakan dalam Ulangan 10:16 “Sebab itu sunatlah hatimu dan janganlah lagi kamu tegar tengkuk”.

Jadi sunat hati bukan suatu perintah yang baru dalam Perjanjian Baru tapi sudah sejak zaman Perjanjian Lama ketika Musa menerima perintah Tuhan untuk bangsa Israel .
Oleh karena itu kita membutuhkan “Sunat Kristus” atau sunat hati berupa penanggalan akan tubuh yang berdosa yakni suatu perbuatan rohani yang tidak dilakukan oleh tangan manusia tapi suatu hubungan dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitan-Nya.

Firman Tuhan dalam Kolose 2:13 katakan: “Kamu juga, meskipun dahulu mati oleh pelanggaranmu dan oleh karena tidak disunat secara lahiriah, telah dihidupkan Allah bersama-sama dengan Dia, sesudah Ia mengampuni segala pelanggaran kita, dengan menghapuskan surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita. Dan itu ditiadakan-Nya dengan memakukannya pada kayu salib”.

Semua itu dimeteraikan oleh peraturan penerimaan atas perjanjian baru, “Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa, (Kolose 2:11-12).
Sehingga orang Kristen adalah orang yang bersunat hati, “Kitalah orang-orang bersunat hati, yang beribadah oleh Roh Allah dan bermegah dalam Kristus Yesus dan tidak menaruh percaya kepada hal-hal lahiriah. “Sebab itu sunatlah hatimu dan janganlah lagi kamu tegar tengkuk” (Ulangan 10:16).

Ear Faith

Who are ear, let him hear ...
Many times Jesus said it. Eight times in the Gospels and eight times in the Book of Revelation, we are reminded that not enough just to have ears, we should use it.
In one parable, Jesus compares the ear to the ground. He told about a farmer who sowed the seeds (a symbol of the Word) in four types of soil (the symbol of our ears.) Exist between our ears like a hard road, unable to receive the seed. Others again have the ear like the rocky ground, we hear the Word but do not let it take root.

Anyone else have a similar ear with a piece of land full of grass, plants are too wild, too prickly, too much competition for the seeds to grow properly. Others again have ears to hear, which is done with good soil, choose a good course to be planted and ready to listen to the voice of God.
In the fourth case is the same seed, the sower is the same or different is not a message that carries the message, the difference is the audience.

If the comparison in this story means that once, then three quarters of the world does not listen to the voice of God.
Why? because there are a lot of heart is hard, life is shallow or a restless mind, 75% of us do not hear and the message is simply passed through from us, not we do not have ears, it's just that we do not want to use it.
Scripture so that we always give priority to listen to the voice of God.

Truly great commandment from God through Moses begins with the words, "Hear, O Israel: The LORD our God, the Lord is one!" (Deuteronomy 6:4).
"Happy is the man who listens to me" is the promise in Proverbs 8:14.
Jesus urges us to learn to listen like sheep. "My sheep know his voice ... they follow the shepherd because it sounds familiar, they do not follow people they do not sound familiar.
Each of the seven churches addressed in revelation the same way: "Anyone can hear should pay attention to what was said by the Spirit of God to the churches."

Pilate is selective hearing. He was allowed to dominate the people's voice and the voice of conscience was a carpenter. "But they kept shouting .... And finally they managed to shout" (Luke 23:23).
Pilate finally leads her ear to the crowd and away from the Christ and ignore the message of the Messiah. "Faith comes by hearing" (Romans 10:17), and once Pilate did not listen, so he never got faith. "Who are ear, let him hear."

How well we've been listening to the voice of God? or do we have to listen to but never stored in our hearts? So many messages of God in His Word, which came to us through the pastors, servants of God, evangelist, or our fellow-minister that we would probably admonish us that life is still far from God.
Surely God used the people who is around us to change our lives through our hearing. But often it is only God's message to the right ear and out his left section, some soil into a hard heart, some of them into the heart of the rocky ground, and partly into the ground a heart full of thorns.

Let us change the way we hear more ... maybe things are not pleasing to God that we hear than the truth of the Word of God itself, so we will not stand the temptation of this world. Where we are too easily shaken, even we do not have the strength to refuse the offer of the world, all because of one reason that we are not rooted in the Lord, we do not wear ear as a result the seeds of faith are just falling in the wrong place.

Telinga Iman

Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar…
Berkali-kali Yesus mengatakan itu. Delapan kali dalam Kitab-kitab Injil dan delapan kali dalam Kitab Wahyu, kita diingatkan bahwa tidak cukup hanya mempunyai telinga, kita harus menggunakannya.
Dalam salah satu perumpamaan, Yesus membandingkan telinga dengan tanah. Ia menceritakan tentang seorang petani yang menabur benih (lambang dari Firman) di empat jenis tanah (lambang dari telinga kita). Ada di antara telinga kita seperti jalan yang keras, tidak dapat menerima benih itu. Yang lain lagi mempunyai telinga seperti tanah berbatu, kita mendengar Firman tetapi tidak membiarkannya berakar.

Orang lain lagi mempunyai telinga yang mirip dengan sebidang tanah penuh rumput-rumputan, tanaman terlalu liar, terlalu berduri, terlalu banyak saingan bagi benih itu untuk bertumbuh dengan baik. Lain lagi mempunyai telinga yang mendengar, tanah yang dikerjakan dengan baik, memilih yang baik saja untuk ditanam dan siap untuk mendengarkan suara Tuhan.
Dalam ke empat kasus benih itu sama, penabur itu juga sama yang beda bukanlah pesannya atau yang membawa pesan, yang beda adalah pendengarnya.

Kalau perbandingan dalam cerita ini berarti sekali, maka tiga perempat dunia tidak mendengarkan suara Tuhan.
Mengapa? karena ada banyak hati yang keras, kehidupan yang dangkal atau pikiran yang gelisah, 75% dari kita tidak mendengar dan pesan itu hanya lewat begitu saja dari kita, bukan kita tidak punya telinga, hanya saja kita tidak mau menggunakannya. Kitab Suci selalu mengutamakan mendengarkan suara Tuhan.
Sesungguhnya perintah besar dari Allah melalui musa dimulai dengan kata-kata, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” (Ulangan 6:4).

Nehemia dan orang-orangnya dipuji karena “Ezra membacakan hukum itu kepada mereka dan mereka semua mendengarkan dengan penuh pengertian” (Nehemia 8:3). “Bahagialah orang yang mendengarkan Aku” adalah janji dalam Amsal 8:14.
Yesus mendesak kita untuk belajar mendengar seperti domba. “Domba-domba mengenal suaranya…mereka mengikuti karena mengenal suara gembala itu, mereka tidak mengikuti suara orang yang tidak mereka kenal. Masing-masing dari ketujuh gereja dalam wahyu disapa dengan cara yang sama: “Barangsiapa dapat mendengar hendaklah memperhatikan apa yang dikatakan oleh Roh Allah kepada jemaat-jemaat”.

Pendengaran Pilatus bersifat selektif. Ia mengizinkan suara rakyat mendominasi suara hatinya dan suara tukang kayu itu. “Tetapi mereka terus berteriak….dan akhirnya teriakan mereka berhasil”(Lukas 23:23).
Akhirnya Pilatus menyendengkan telinganya kepada orang banyak dan menjauhi sang Kristus dan mengabaikan pesan Mesias. “Iman timbul dari pendengaran” (Roma 10:17), dan sekali pilatus tidak mendengarkan, maka ia tidak pernah mendapat iman. “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar.”
Seberapa baikkah kita sudah mendengarkan suara Tuhan? ataukah kita sudah mendengarkan tapi tidakpernah tersimpan dalam hati kita?

Sacrifice

Gospel of Luke 4:1-13: "Jesus, full of the Holy Spirit, returned from Jordan and was led by the Spirit into the wilderness. There being forty days tempted of Satan. Over there he did not eat anything and after that time he was hungry.
Then the devil said unto him, If thou be the Son of God, command that these stones become bread. "
Jesus answered him: "It is written, Man shall not live by bread alone."

Then he took him to a high place and in a trice he showed Him all the kingdoms of the world. The devil said to him: "All that power and glory will I give thee, for all these things have been handed over to me and I give it to anyone who want to do. So if you worship me, all will be Yours. "But Jesus said to him:" It is written, Thou shalt worship the Lord thy God, and him only shalt thou serve! "

Then he brought him to Jerusalem and put him on the pinnacle of the temple, and said unto him, If thou be the Son of God, throw Yourself down from here, for it is written: About You, He will command His angels to protect you, and they will hold you in his hands, so your feet do not stumble on stones. "Jesus answered, saying:" There shall not tempt the Lord thy God! "

When the devil had ended every temptation, he departed from Him and waiting for a good time. Perhaps we imagine there were three separate incidents that spread within forty days in the wilderness, but in reality, the temptation was coming nonstop. When the full forty days used Satan to tempt Jesus, Satan did not want to let go of this golden opportunity every step Jesus is whispering back and every turn of his journey there is a sprinkling of doubt.

To be sure, Jesus Man experience inner struggle but that does not make He resigned, he never ceased to fulfill the Father's plan to save mankind. Hebrews 12:2 presents an interesting statement, 'Since we have many witnesses, like a cloud that surrounds us, let us lay aside every weight and sin which clings so closely, and run with patience the race that is set before us.

Let us do it with eyes that turned to Jesus, who leads us in faith, and who brought it to the perfection of our faith, which by ignoring diligently carried the cross dressing humiliation joy reserved for him who now sits on the right hand of the throne of God '.
Jesus does not care that dying on the cross it is a shameful thing.
The shame of it like a disgrace, an insult! Can we imagine the horror that we feel if anyone knows and played it again an embarrassing incident in a videotaped and watched by many people. That's what Jesus felt. Why? He never did anything embarrassing, but we are embarrassing.
And because the cross God made Him to be sin, 2 Corinthians 5:21 says: "He who knew no sin has made him become sin for us, so that in him we are justified by God."
Jesus was filled with shame. He was humiliated in front of his family. Stripped naked in front of the mother and in front of all humans. Forced to take up the cross to stumble because of the weight. Humiliated in front of his church. The pastors and elders of his day mocking him.
Humiliated in front of the city of Jerusalem, Condemned to death as criminals.

But a sense of shame in front of people is not worth the embarrassment in front of His Father. Shame we each feel is too much to bear, perhaps we are willing to die for a righteous man but can we willing to die for the guilty and a sin? Can we imagine the collective shame of the whole human race which is borne by one person? Wave after wave of shame overwritten to Jesus, though He never deceive He was sentenced as a cheater, even if he never stole, he is considered a thief, although he never lied, he considered a liar.

Although he was never anxious, he must bear the shame of people who commit adultery, though he always believed, he must bear the shame of people who do not believe.
How is it bravely bear the shame like that? What gave Jesus the strength to bear the embarrassment the whole world? All because He loves us! Like Jesus, we too experienced the trials, like Jesus we are also accused, like Jesus we too embarrassed, but not like Jesus we admit defeat, we escaped.

How can we have a heart like Jesus? What should we do? Focus!
Hebrews 12:2 says, "let us do it with eyes that turned to Jesus, who leads us in faith, and who brought it to the perfection of our faith, which by ignoring diligently carried the cross dressing humiliation joy reserved for him who now sits on the right hand of the throne of God. "

Pengorbanan


Injil Lukas 4:1-13: “Yesus, yang penuh dengan Roh Kudus, kembali dari sungai Yordan, lalu dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun. Di situ Ia tinggal empat puluh hari lamanya dan dicobai Iblis. Selama di situ Ia tidak makan apa-apa dan sesudah waktu itu Ia lapar.
Lalu berkatalah Iblis kepada-Nya: "Jika Engkau Anak Allah, suruhlah batu ini menjadi roti."
Jawab Yesus kepadanya: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja."

Kemudian ia membawa Yesus ke suatu tempat yang tinggi dan dalam sekejap mata ia memperlihatkan kepada-Nya semua kerajaan dunia. Kata Iblis kepada-Nya: "Segala kuasa itu serta kemuliaannya akan kuberikan kepada-Mu, sebab semuanya itu telah diserahkan kepadaku dan aku memberikannya kepada siapa saja yang kukehendaki. Jadi jikalau Engkau menyembah aku, seluruhnya itu akan menjadi milik-Mu." Tetapi Yesus berkata kepadanya: "Ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!"

Kemudian ia membawa Yesus ke Yerusalem dan menempatkan Dia di bubungan Bait Allah, lalu berkata kepada-Nya: "Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu dari sini ke bawah, sebab ada tertulis: Mengenai Engkau, Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya untuk melindungi Engkau, dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu." Yesus menjawabnya, kata-Nya: "Ada firman: Jangan engkau mencobai Tuhan, Allahmu!"

Sesudah Iblis mengakhiri semua pencobaan itu, ia mundur dari pada-Nya dan menunggu waktu yang baik. Mungkin kita membayangkan ada tiga peristiwa terpisah yang tersebar dalam waktu empat puluh hari di padang gurun, tapi dalam kenyataannya, pencobaan itu datangnya nonstop. Waktu yang penuh empat puluh hari dipakai Iblis untuk menggoda Yesus, Iblis tidak mau melepaskan kesempatan emas ini setiap langkah Yesus ada bisikan mundur dan setiap belokan perjalanan-Nya ada taburan keraguan.

Yang pasti, Manusia Yesus mengalami pergumulan batin tapi itu tidak membuat Ia mundur, Ia tidak pernah berhenti untuk menggenapi rencana Bapa dalam menyelamatkan umat manusia. Ibrani 12:2 menyajikan pernyataan yang menarik sekali, ‘Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.

Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah’.
Yesus tidak peduli bahwa mati di kayu salib itu adalah suatu hal yang memalukan.
Rasa malu itu seperti arang di muka, suatu penghinaan! dapatkah kita membayangkan kengerian yang kita rasakan kalau ada yang tahu dan di putar lagi peristiwa yang memalukan itu dalam suatu rekaman video dan ditonton oleh banyak orang. Itulah yang dirasakan Yesus. Mengapa? Ia tidak pernah melakukan sesuatu yang memalukan, melainkan kita yang memalukannya.
Dan karena di kayu salib Allah membuat Dia menjadi dosa, 2 Korintus 5:21 mengatakan: “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah”.
Yesus dipenuhi malu. Ia dipermalukan di depan keluarga-Nya. Ditelanjangi di depan ibu dan didepan semua manusia. Dipaksa memikul salib sampai tersandung karena beratnya. Dipermalukan di depan gereja-Nya. Para gembala dan penatua zaman-Nya mengejek Dia.
Dipermalukan didepan kota Yerusalem, Dihukum mati sebagai penjahat.

Tapi rasa malu didepan manusia tidak sebanding rasa malu dihadapan Bapa-Nya. Aib kita masing-masing terasa terlalu berat untuk ditanggung, mungkin kita rela mati untuk seorang yang benar tapi dapatkah kita rela mati untuk seorang yang bersalah dan berbuat dosa? Dapatkah kita membayangkan aib kolektif dari seluruh umat manusia yang ditanggung oleh satu orang? Gelombang demi gelombang rasa malu ditimpa kepada Yesus, sekalipun Ia tidak pernah menipu Ia divonis sebagai penipu, sekalipun Ia tidak pernah mencuri, Ia dianggap pencuri, meskipun Ia tidak pernah berbohong, Ia dianggap pembohong.
Meskipun Ia tidak pernah bernafsu, Ia harus menanggung malu orang yang berzinah, meskipun Ia selalu percaya, Ia harus mananggung malu orang yang tidak percaya.

Bagaimana Ia dapat dengan tabah menanggung malu seperti itu? Apa yang memberi Yesus kekuatan untuk menanggung malu seluruh dunia? Semua hanya karena Dia mengasihi kita! Seperti Yesus, kitapun mengalami pencobaan, seperti Yesus kita juga dituduh, seperti Yesus kita juga malu, tetapi tidak seperti Yesus kita mengaku kalah, kita melarikan diri.
Bagaimana kita dapat memiliki hati seperti Yesus? Apa yang harus kita lakukan? Fokus!

Ibrani 12:2 mengatakan; “marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah”.


Emergency Channel

Heaven has an emergency channel twenty-four hours, God wants us to ask for His help to overcome the challenges or trials that are before us, when the temptation to hit maybe we do not have time for lengthy conversations with God, we can only call upon Him with the unspoken complaint.

David, Daniel, Peter, Paul and millions of others ever raise these kinds of quick prayer for help in deep trouble.
The Bible guarantees that our cry for help will be listened to, because Jesus cares about our struggles. He faced the same temptations as we are, He understands our weaknesses, because He faced the same temptations we face, only he has not sinned.
If God kept waiting to help us overcome temptation, why not turn to him more often? honestly, sometimes we do not want to be helped, we sometimes want to give in to temptation even though we know it is wrong, then we think we know better what is best for us.

At other times we're embarrassed to ask God to help us, perhaps because we feel unworthy before God with a long list of sins that even in piles that never existed settlement with the Lord, therefore we continue to give in to the same temptation over and over again.

But our God, the God of his extraordinary generosity, his patience, he is always waiting for us to come back to Him. Word of God says: "Therefore let us with courage the throne of grace, that we may receive mercy and find grace to get our help in time." (Hebrews 4:16).

Love of God is eternal, and His patience remains forever. If we have cried out asking God's help two hundred times a day to overcome certain temptations, God will still be happy to give mercy and grace, so come with boldness. Ask him the power to do the right things and then believe and hope that He gave.
Trials will make us depend on God when we realize that He is our helper, as the roots grow stronger when wind blew a tree, so also when we face a growing temptation we are rooted in Him, then we will see miracles from the storm of temptation that we face we will stand firm to be more like Jesus.

Every temptation is our opportunity to do good, and God had never closed the channels of his emergency room on line one time twenty-four hours for us to access and there are voices that will say "blessed are those who endure temptation, because if he had test stand, he will receive the crown of life promised by God to those who love Him. "(James 1:12).

Saluran Gawat Darurat

“Berserulah kepada-Ku pada waktu kesesakan, Aku akan meluputkan engkau, dan engkau akan memuliakan Aku.” (Mazmur 50:15).
Surga memiliki saluran gawat darurat dua puluh empat jam, Allah menginginkan kita meminta pertolongan-Nya untuk mengatasi tantangan-tantangan atau pencobaan yang ada dihadapan kita, ketika pencobaan menghantam mungkin kita tidak punya waktu untuk percakapan yang panjang dengan Allah, kita hanya dapat berseru kepada Dia dengan keluhan yang tak terucapkan.
Daud, Daniel, Petrus, Paulus dan jutaan orang lain pernah menaikan jenis doa yang cepat ini untuk meminta pertolongan di dalam kesulitan.

Alkitab menjamin bahwa seruan kita untuk meminta bantuan akan didengar, karena Yesus peduli pada pergumulan kita. Dia menghadapi pencobaan-pencobaan yang sama seperti kita, Dia memahami kelemahan-kelemahan kita, karena Dia menghadapi pencobaan yang sama dengan yang kita hadapi, hanya Dia tidak berbuat dosa.
Jika Allah terus menanti untuk menolong kita mengalahkan pencobaan, mengapa kita tidak berpaling kepada-Nya lebih sering? secara jujur, kadang kita tidak ingin ditolong, kita terkadang ingin menyerah kepada pencobaan sekalipun kita tahu itu salah, pada saat itu kita mengira kita lebih mengetahui apa yang terbaik bagi kita.

Pada saat-saat lain kita malu untuk meminta Allah menolong kita, mungkin karena kita merasa tidak layak di hadapan Tuhan dengan daftar dosa yang panjang bahkan bertumpuk-tumpuk yang tidak pernah ada penyelesaian dengan Tuhan, oleh karena itu kita tetap menyerah pada pencobaan yang sama berulang-ulang.
Tetapi Allah kita, Allah yang luar biasa kemurahan-Nya, kesabaran-Nya, Dia senantiasa menunggu kita untuk datang kembali kepada-Nya. Firman Tuhan berkata: “Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya.” (Ibrani 4:16).

Kasih Allah abadi, dan kesabaran-Nya tetap selamanya. Jika kita harus berseru meminta pertolongan Allah dua ratus kali sehari untuk mengalahkan pencobaan tertentu, Allah akan tetap dengan senang hati memberikan rahmat dan kasih karunia, jadi datanglah dengan berani. Mintalah kepada-Nya kuasa untuk melakukan hal yang benar dan kemudian percaya dan berharaplah bahwa Dia memberikannya.

Pencobaan-pencobaan membuat kita akan bergantung kepada Allah apabila kita menyadari bahwa Dia adalah penolong kita, sama seperti akar bertumbuh makin kuat ketika angin bertiup menerpa sebuah pohon, begitu juga ketika kita menghadapi sebuah pencobaan semakin kita berakar di dalam Dia, maka kita akan melihat mujizat dari badai pencobaan yang kita hadapi kita akan tetap berdiri kokoh menjadi lebih serupa dengan Yesus.

Setiap pencobaan merupakan kesempatan kita untuk berbuat baik, dan Allah tidak pernah menutup saluran gawat darurat-Nya yang on line satu kali dua puluh empat jam untuk kita akses dan disana ada suara yang akan berkata “berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia.” (Yakobus 1:12).

Violence Vs Love

Then Jesus began to speak and taught them, saying,
"Blessed are the poor in spirit, because they were the owner of the kingdom of heaven.
Blessed are they that mourn, for they shall be comforted.
Blessed are the meek, for they shall inherit the earth.
Blessed are those who hunger and thirst for righteousness, for they shall be satisfied.
Blessed are the cheapest in heart: for they shall obtain mercy.
Blessed are the pure in heart: for they shall see God.
Blessed are the peacemakers, for they shall be called children of God.
Blessed are they who are persecuted because of righteousness, for they were the owner of the kingdom of heaven.
Blessed are you when you heckled and abused me and you on it all the evil slander.
Rejoice and be glad, for your reward is great in heaven: for so persecuted they the prophets which were before you. "(Matthew 5:2-12).

Happy ... happy ... happy and rejoice ... how we should practice what the preach on the Mount and at the same time supporting the use of military force?
Violence, rape, oppression, looting which we have felt almost make us participate bitterness trees flourish along with the time, so the gap between those who believe and do not trust deepened.
That's a reasonable question, for example, also disputes the border between our country and neighboring countries who would not want to make us as Christians who are involved directly as a means of defense or state only as an ordinary citizen who loves this country will certainly have a desire great to be able to defend or at least maintain this state.
But Jesus taught we should love our enemies, repay evil with goodness. Is this realistic in a world where crime is very often win?

When Jesus says of the Kingdom of God, He gave the standard radical who should run the citizens of the citizens are happy and rejoice in any circumstance, and this standard is almost no sense.
He knows how to live like that is difficult and complicated, but it will give the testimony the values of the Kingdom of God even in the midst of this evil world. Christ did not say the Christians who obey will be able to deliver the kingdom of God to earth, only Christ himself who will do that when He returns. But for the period between the two stages - the announcement of the kingdom of God and its final perfection - God gave the structure to prevent crime in this world.
State even allowed to take up the sword if necessary, and Christians are commanded to obey and respect the State authorities as instruments of God, in the Book of Romans 13:1-7, says:

"Everyone must submit himself to the governing authorities on it, because no government, which is not of God, and the governments that exist, established by God. So whoever against the government, she resisted the ordinance of God and who do, will bring punishment upon themselves. For if a do good, he do not fear the government, only if he do evil.
Would you like to live without fear of government? Do what is good and you shall receive praise from him. Because the government is the servant of God for your good. But if thou do evil, be afraid of him, because the government does not bear the sword in vain. Government is the servant of God to avenge God's wrath upon those who do evil.
Because it must needs be subject, not only for punishment but also because of conscience. That is also why you pay taxes. Because those who care about it are the servants of God.

Pay to everyone what should you pay: taxes to the person entitled to receive the taxes, duties to the person entitled to receive tax; fear to those who deserve fear and respect to people who deserve respect. "
So there are two important commands should be noted, namely: to live according to the teachings of Christ in the Sermon on the Mount, which gives examples of the values of the Kingdom of God which has not yet come in its fullness and at the same time supporting the role of government to maintain order as a witness to God's authority over the kingdoms of the world today.

So even though Christians should not repay evil with evil - instead he had to forgive, and to break the cycle of crime - he may participate in a structure that allowed God to prevent crime and disorder in the world using the power of government.
How many of us are already taking part in this? Or we never care about this? As long as we still feel safe in our place, maybe we never would think to break the cycle of crime that, until the crime is coming upon us.

Kekerasan Vs Kasih

Maka Yesus pun mulai berbicara dan mengajar mereka, kata-Nya:
"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.
Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.
Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.
Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.
Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.
Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.
Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.
Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu." (Matius 5:2-12).

Berbahagialah… berbahagialah… berbahagialah dan bersukacitalah… Bagaimana kita harus menjalankan apa yang di khotbahkan di atas Bukit dan sekaligus mendukung penggunaan kekuatan militer?
Kekerasan, pemerkosaan, penindasan, penjarahan yang kita telah rasakan hampir-hampir membuat pohon kepahitan kita ikut tumbuh subur bersama dengan waktu, sehingga kesenjangan antara orang yang percaya dan tidak percaya semakin dalam.
Itu suatu pertanyaan yang masuk akal, sebagai contoh juga perselisihan batas antara Negara kita dengan negara tetangga yang mau tidak mau membuat kita sebagai orang Kristen yang terlibat langsung sebagai alat pertahanan Negara ataupun hanya sebagai warga Negara biasa yang mencintai akan Negara ini sudah pasti mempunyai keinginan yang besar untuk setidaknya dapat membela atau mempertahankan Negara ini.

Tetapi Yesus mengajar kita harus mengasihi musuh-musuh kita, membalas kejahatan dengan kebaikan. Apakah ini realistis dalam dunia di mana kejahatan sangat sering menang? Ketika Yesus menyatakan tentang Kerajaan Allah, Ia memberikan standar radikal yang harus dijalankan warga-wargaNya yaitu berbahagialah dan bersukacitalah dalam keadaan apapun, dan standar ini hampir tidak masuk akal.
Ia tahu cara hidup seperti itu sulit dan rumit, tapi itu akan memberikan kesaksian nilai-nilai Kerajaan Allah bahkan di tengah kejahatan dunia ini. Kristus tidak mengatakan orang-orang Kristen yang taat akan bisa mengantarkan kerajaan Allah ke bumi, hanya Kristus sendiri yang akan melakukan itu ketika Ia kembali. Tapi untuk periode di antara kedua tahapan ini - pengumuman tentang Kerajaan Allah dan penyempurnaan finalnya - Allah memberikan struktur untuk menghambat kejahatan di dunia ini.

Negara bahkan di ijinkan untuk mengangkat pedang bila perlu, dan orang Kristen diperintahkan untuk taat pada Negara dan menghormati pihak berwenang sebagai alat-alat Allah, di dalam Kitab Roma 13:1-7, mengatakan:
“Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah. Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya. Sebab jika seorang berbuat baik, ia tidak usah takut kepada pemerintah, hanya jika ia berbuat jahat.

Maukah kamu hidup tanpa takut terhadap pemerintah? Perbuatlah apa yang baik dan kamu akan beroleh pujian dari padanya. Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat.
Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh karena kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati kita. Itulah juga sebabnya maka kamu membayar pajak. Karena mereka yang mengurus hal itu adalah pelayan-pelayan Allah.
Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat”.

Jadi ada dua perintah penting yang harus kita perhatikan yaitu; hidup sesuai ajaran Kristus dalam Kotbah di Bukit, yaitu memberi contoh nilai-nilai dalam Kerajaan Allah yang belum tiba dalam kepenuhannya dan pada saat yang sama mendukung peran pemerintah untuk mempertahankan ketertiban sebagai saksi otoritas Allah atas kerajaan-kerajaan dunia saat ini.
Jadi walaupun orang Kristen tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan - sebagai gantinya ia harus memaafkan, dan untuk memutuskan lingkaran kejahatan - ia boleh berpartisipasi dalam struktur yang diijinkan Allah untuk menghambat kejahatan dan kekacauan di dunia ini dengan menggunakan kekuatan pemerintah.
Seberapa banyak dari kita yang sudah mengambil bagian dalam hal ini? Ataukah kita tak pernah peduli akan hal ini? Selama kita masih merasa aman di tempat kita, mungkin kita tidak pernah akan berpikir untuk memutuskan lingkaran kejahatan itu, sampai kejahatan itu datang menimpa kita.