Bitterness

Bitterness often lies behind our inability to forgive and be forgiven. It is a vandal who reject the existence of peace and prosperity of us and destroy our relationship with God and our neighbor. The Bible warns us about the roots of bitterness, “Take care lest one get away from the grace of God, so do not grow roots of bitterness led to riots and which contaminate many” (Hebrews 12:15).

Sometimes the root of bitterness that developed over the weeks, months and even years, maybe we can hide it by camouflaging a variety of other attitudes, which sometimes can not be known by others but we can not hide our bitterness toward God or even from the bitterness of our own bodies so that we can often be reflected in our attitude is full of anger, full of lust, slander, and revenge.

Bitterness never be built, the bitterness is always destructive, no matter whatever made people to us or how poorly, and often they do to us, bitterness never be acceptable in the sight of God. Nothing good has ever come from bitterness.
We must be careful not to let bitterness take root in our lives, like the roots that have smooth edges to reach the water in order to grow, so too the root of bitterness has smooth branches to reach the lands of our hearts to make us slaves who would undermine our emotional life.

Bitterness can cause physical illness, the longer the medical experts began to see the kind of link between how our bodies work and how we think. Bitterness, anger and other negative emotions have been associated with glandular tissue problems, high blood pressure, heart problems, peptic ulcers and a number of other physical illnesses.

The bitterness may also cause distress to someone and defame others, we keep the bitterness that would sully our relationship with our spouse or our neighbor, this is why there is so much separation, divorce and a messy household even when we want to love others, we can not do it, the parents wonder why they can not love their children, otherwise the children wonder why they can not love their parents. Are not aware they have started stacking it in the root of bitterness any anger, because there is distrust one another, and each began to build emotional walls is hard to penetrate.

Destruction because the bitterness is clearly illustrated in the life of King Saul, who began his reign as a ruler who respected and liked, but ended his life in defeat, grief and suicide. The destruction of the spirit of bitterness towards David and to God is a means of supporting the death. (1 Samuel 18:1-7). When the root of bitterness has grown old, not always be immediate removal. A husband and wife who decide to reconcile after a separation can be with each other honestly confess and repent of their sins, but a full recovery comes gradually.

Healing the spirit sometimes takes longer, we may have to live with the damaged emotions for years, perhaps since childhood. But as children of God, we have the ability to forgive and remove the bitterness of our life even though it causes us to experience a lot of loss or shame, because if we do not forgive then we will not be able to love. Luke 6:36-37 says: “Be ye merciful, even as your Father is generous. Do not be judgmental, so ye also will not be judged. And do not punish, then ye also will not be punished; forgive and ye shall be forgiven.

“We only have two choices, we can let bitterness destroy us or we can invite God to develop us into the person who according to His will. “But I’m alive, but no longer I who live, but Christ lives in me. The life which I now live in the flesh I live by faith in the Son of God, who loved me and gave Himself for me. “(Galatians 2:20).


Kepahitan

Kepahitan sering terletak di balik ketidaksanggupan kita untuk mengampuni dan diampuni, itu adalah perusak yang menolak adanya kedamaian dan kesejahtraan kita dan menghancurkan hubungan kita dengan Tuhan dan sesama kita.
Alkitab memperingatkan kita tentang akar kepahitan, “Jagalah supaya jangan ada seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar pahit yang menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang” (Ibrani 12:15).

Kadang akar pahit itu dikembangkan selama berminggu-minggu, berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun, mungkin kita dapat menyembunyikannya dengan menyamarkannya menjadi berbagai sikap yang lain, yang kadang tidak dapat di ketahui oleh orang lain tetapi kita tidak dapat menyembunyikan kepahitan kita di hadapan Allah atau bahkan dari tubuh kita sendiri sehingga kepahitan kita sering dapat tercermin dari sikap kita yang penuh amarah, penuh nafsu, fitnah, dan dendam.

Kepahitan tak pernah bersifat membangun, kepahitan selalu bersifat merusak, tidak menjadi soal apapun yang dibuat orang kepada kita atau betapa buruk dan seringnya mereka lakukan pada kita, kepahitan tak pernah dapat diterima di hadapan Allah. Tiada kebaikan yang pernah terbit dari kepahitan.

Kita harus hati-hati agar jangan membiarkan kepahitan berakar dalam hidup kita, bagaikan akar yang mempunyai cabang-cabang yang halus untuk menjangkau air agar dapat bertumbuh, demikian pula akar kepahitan mempunyai cabang-cabang yang halus untuk menjangkau tanah-tanah hati kita untuk menjadikan kita budak emosional yang akan mengerogoti kita seumur hidup.

Kepahitan bisa mengakibatkan penyakit fisik, semakin lama para ahli kedokteran mulai melihat semacam mata rantai antara cara kerja tubuh kita dan cara kita berpikir. Kepahitan, kemarahan, dan emosi negatif lainnya telah dikaitkan dengan masalah jaringan kelenjar, tekanan darah tinggi, gangguan jantung, tukak lambung dan sejumlah penyakit fisik lainnya.

Kepahitan juga dapat menyebabkan kesusahan kepada seseorang dan mencemarkan orang lain, kepahitan yang kita pelihara akan menodai hubungan kita dengan pasangan kita atau sesama kita, inilah sebabnya terdapat begitu banyak perpisahan, perceraian, dan rumah tangga yang berantakan bahkan ketika kita ingin mengasihi orang lain, kita tidak dapat melakukannya, para orangtua merasa heran mengapa mereka tak dapat mengasihi anak-anak mereka, sebaliknya anak-anak merasa heran mengapa mereka tak dapat mengasihi orangtua mereka. Secara tidak sadar mereka sudah mulai menumpuk akar kepahitan itu dalam setiap amarah, karena ada ketidakpercayaan satu dengan yang lainnya, dan masing-masing mulai membangun tembok-tembok emosional yang sukar untuk ditembus.

Kehancuran karena kepahitan dengan jelas dilukiskan dalam kehidupan raja Saul, yang mengawali pemerintahannya sebagai seorang penguasa yang terhormat dan disukai tetapi mengakhiri hidupnya dalam kekalahan, dukacita dan bunuh diri. Kehancuran dari roh kepahitan terhadap Daud dan terhadap Allah merupakan sarana penunjang dalam kematiannya. (1 Samuel 18:1-7).

Bila akar kepahitan telah bertumbuh lama, penyingkirannya tidak selalu bersifat segera. Seorang suami dan istri yang memutuskan untuk rujuk kembali setelah berpisah dapat dengan jujur saling mengaku dan bertobat dari dosa mereka, tetapi pemulihan penuh datang berangsur-angsur. Penyembuhan roh terkadang membutuhkan waktu yang lebih lama, kita mungkin telah hidup dengan emosi yang rusak selama bertahun-tahun, barangkali sejak masa kanak-kanak.
Namun sebagai anak-anak Allah, kita mempunyai kemampuan untuk mengampuni dan mencabut kepahitan dari hidup kita walaupun itu menyebabkan kita mengalami banyak kehilangan atau dipermalukan, karena jika kita tidak mengampuni maka kita tidak akan dapat mencintai.

Lukas 6:36-37 mengatakan; “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati. Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamupun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni.” Kita hanya mempunyai dua pilihan, kita dapat membiarkan kepahitan menghancurkan kita atau kita dapat mempersilahkan Allah mengembangkan kita menjadi pribadi yang sesuai dengan kehendak-Nya.

“Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” (Galatia 2:20).