The Loss Of Morals In Society

Moral (Latin Morality) is a term called human to human or other person in the act of having a positive value. Humans who have no morals called amoral and immoral means he has no positive value in the eyes of other humans. So the moral is the absolute thing that must be possessed by humans. Is explicitly moral matters relating to the socialization process of individuals without a moral man can not make the process of socialization.

Moral of today have an implicit value because many people who have moral or immoral behavior from a narrow perspective. That moral nature which is taught in schools and people should have the moral if he wants to be respected by others. Moral is the value of the absolutan in social life intact. Assessment of the moral culture is measured from the local community.

Moral is the act / behavior / greeting someone in her interactions with humans. if a person does it in accordance with the prevailing sense of value in society and be accepted as well fun with their communities, then that person is considered to have good morals, and vice versa, Morality is a product of culture and religion.
Moral is a state of mind, feeling, speech, and human behavior associated with the values of good and bad.

Every form of politics must have a moral basis, namely a set of beliefs and values are being complied with. What binds the community is the belief that we are all going to regulate our actions according to moral and religious framework of a mutually agreed upon. But moral and religious framework of this joint gradually been eroded.
Today many people believe that human beings can create their own standards, that ethics is just a matter of individual feelings and choices. But if ethics is derived into a feeling of dignity, moral ties which unite the people would just disappear. People no longer have standards of behavior agreed with that, they no longer knew what to expect from others then we will see the emergence of a sense of mistrust and hostility in society.

Christians have an obligation to bring the transcendental moral values in public debate. We can see that laws are rules to regulate human behavior, from the standpoint of the State law is to uphold the truth or prove the fault of human behavior. Therefore most of the law has moral implications. The presence of the kingdom of God in society means that the presence of a community of people whose lives have become witnesses of law behind the law.

They reject relativism, believing that some things right and some things wrong, and hold on universal ethical norms, thus the presence of Christians in society became a strong fortress to defend legal sanity, and the kingdom of God is more than just a model. Kingdom of God really operate as human control over the kingdom through his people and through the most visible manifestations of his church.

The Church is the main institution with moral authority to mediate between the individual and the State, to require accountability for the implementation of State obligations towards its citizens, because when the State forget or deny the values into the original terms of the contract, in essence, it violates the contract with its citizens, because that's the church must take the initiative and requested the State responsibility.
This is the point where the conflict between the two kingdoms to be strongest. Government naturally seek power and are always trying to find his own moral legitimacy to its decisions. Inevitably, which appeared in history, the result of government efforts to impose his own moral vision on society or to act without independent control of consciences then we'll see a tyranny.Duty to disseminate the moral vision is not solely lie in the government but at other institutions in society, especially churches.

When the State overstep the limits of authority, religion becomes the only effective source of moral stamina and the church do this not with the aim to become an institution on earth but for the common good. When we say Jesus is Lord will be a serious threat to totalitarian regimes everywhere, the church has undergone many brutal attacks, among others, the closure-closure-burning and burning churches throughout the world, oppression is precisely centered on church involvement in community .
Jesus did not come to establish a political kingdom but a statement about the kingdom of God has had profound consequences for the political situation. When Jesus said to Pilate, "My kingdom is not of this world," Pilate probably breathed in relief. But he should think again, whichever is more threatening for a ruler: an external enemy forces with a powerful but invisible, or the king who ruled the human soul immortal? Options that can compromise both the desire and love, demanded absolute obedience, to give unlimited power to the slave-servants, and radically change the lives and values which they embrace.

That is why the kingdom of God has made a huge impact on the most powerful kingdom of men, though in every era.
Through these people are aware of their authority and live by ethics, the kingdom of God changed the direction of history, decided a vicious circle of violence, injustice, and selfishness, which can not be changed in other ways.


Hilangnya Moral Dalam Masyarakat

Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia.

Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya.
Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia, apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya.Moral adalah produk dari budaya dan Agama.

Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk.
Setiap bentuk politik harus memiliki dasar moral, yaitu serangkaian kepercayaan dan nilai-nilai yang dipatuhi bersama. Apa yang mengikat masyarakat adalah kepercayaan bahwa kita semua akan mengatur tindakan kita menurut kerangka moral dan keagamaan yang disepakati bersama. Tetapi kerangka moral dan keagamaan bersama ini sedikit demi sedikit terkikis habis.
Saat ini banyak orang percaya bahwa manusia bisa menciptakan standar sendiri, bahwa etika hanyalah soal perasaan dan pilihan individual. Tapi bila etika diturunkan derajatnya menjadi perasaan, ikatan moral yang menyatukan masyarakat akan segera lenyap. Orang tidak memiliki lagi standar tingkah laku bersama yang disepakati, mereka tidak tahu lagi apa yang bisa diharapkan dari orang lain maka kita akan melihat timbulnya rasa ketidak-percayaan dan rasa permusuhan dalam masyarakat.

Orang Kristen memiliki kewajiban untuk membawa nilai-nilai moral transendental dalam debat umum. Kita bisa melihat bahwa hukum adalah peraturan-peraturan untuk mengatur perilaku manusia, hukum dari sudut pandang Negara adalah menegakkan kebenaran atau membuktikan kesalahan perilaku manusia. Karena itu sebagian besar hukum memiliki implikasi moral.
Kehadiran kerajaan Allah dalam masyarakat berarti hadirnya komunitas orang yang hidupnya menjadi saksi hukum dibelakang hukum. Mereka menolak relativisme, percaya bahwa sebagian hal benar dan sebagian hal salah, dan berpegang pada norma-norma etika universal, dengan demikian kehadiran orang Kristen dalam masyarakat menjadi benteng yang kuat untuk mempertahankan kewarasan legal, dan kerajaan Allah lebih dari sekedar model. Kerajaan Allah benar-benar beroperasi sebagai kendali di atas kerajaan manusia melalui orang-orangnya dan melalui manifestasinya yang paling tampak yaitu gereja-Nya.

Gereja adalah institusi utama dengan otoritas moral untuk menjadi penengah antara individual dan Negara, untuk meminta pertanggung-jawaban Negara atas pelaksanaan kewajiban terhadap warganya, karena ketika Negara lupa atau menyangkal nilai-nilai yang menjadi syarat-syarat asli dari kontrak, pada intinya itu melanggar kontrak dengan warganya, karena itulah gereja harus mengambil inisiatif dan meminta pertanggung-jawaban Negara.

Ini adalah titik di mana konflik antara dua kerajaan ini menjadi paling kuat. Pemerintah secara alamiah mencari kekuasaan dan selalu berusaha untuk mencari legitimasi moralnya sendiri untuk keputusannya. Tanpa terelakkan, yang tampak dalam sejarah, hasil usaha pemerintah untuk memaksakan visi moralnya sendiri pada masyarakat atau bertindak tanpa kendali suara hati independent maka kita akan melihat suatu tirani.

Tugas untuk menyebar-luaskan visi moral tidak semata-mata terletak pada pemerintah tapi pada institusi lain dalam masyarakat, terutama gereja.
Ketika Negara melangkahi batas otoritasnya, agama menjadi satu-satunya sumber efektif untuk daya tahan moral dan gereja melakukan ini bukan dengan tujuan untuk menjadi institusi di bumi tapi untuk kebaikan bersama. Ketika kita menyatakan Yesus adalah Tuhan itu akan menjadi suatu ancaman yang serius bagi rejim totaliter manapun, gereja sudah banyak mengalami serangan-serangan brutal antara lain penutupan-penutupan dan pembakaran-pembakaran gereja yang tersebar diseluruh dunia, penindasan tersebut justru dipusatkan pada keterlibatan gereja dalam masyarakat.

Yesus tidak datang untuk mendirikan kerajaan politis namun pernyataan tentang kerajaan Allah telah memiliki akibat yang mendalam bagi keadaan politis. Ketika Yesus berkata pada Pilatus, “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini,” Pilatus mungkin menghembuskan nafas lega. Tapi harusnya ia berpikir lagi, mana yang lebih mengancam bagi seorang penguasa: musuh eksternal dengan pasukan yang perkasa tapi kelihatan, atau Raja abadi yang memerintah jiwa manusia? Pilihan yang kedua bisa menguasai keinginan dan cinta, menuntut ketaatan mutlak, memberikan kekuatan yang tidak terbatas pada hamba-hambaNya, dan secara radikal mengubah kehidupan dan nilai-nilai yang mereka anut.

Itulah sebabnya mengapa kerajaan Allah memiliki pengaruh yang sangat luar biasa pada kerajaan manusia yang paling kuat sekalipun dalam tiap jaman.
Melalui orang-orang yang menyadari otoritasnya dan hidup berdasarkan etika itu, kerajaan Allah mengubah arah sejarah, memutuskan lingkaran setan kekerasan, ketidak-adilan, dan keegoisan, yang tidak dapat diubah dengan cara lain.


Life is Full of Problems

We live in an age filled with stress. Alcoholism, drug abuse, abuse against children, changing jobs, divorce and many more that we must face. Most of these problems is a sign of someone who could not handle the pressure, they do not rise up to face Goliath with courage that God has provided for us all.

Every stage of life has its pressure itself is no exception in the years of childhood and adolescence, even the suicide rate is rising among young people between the ages of thirteen and nineteen years old. Many of these young kids do not know how to handle the pressure, because their parents do not know how to handle pressure.

People who just got married and had pressures. On a pressure scale of one to one hundred, who had been married just shows the number fifty. So many adjustments that must be held as, financial adjustments, career adjustment, and adjustment of roles. Many young couples are not prepared to rise to the challenge. Even single parents (unmarried or married) also have huge pressures such as, financial challenges, loneliness, and adjustments in every area of life.
God did not give us wings to fly away from the problems. He did not lift us out of the world to keep us from the experience of pressure, but he gives us the strength to walk through the pressure and developed just as we are under pressure.

God allowed all three men of Israel, Shadrach, Meshach and Abednego to come into a burning fireplace, but he maintains them. God will not always reduce the heat stress problem, but he will always go there with us and give us the strength to overcome whatever we face.
We can resolve issues with one of four ways is very well known, namely: First run away from trouble, the two went round the problem (just to face it again later), ignore all the problems the third, fourth or face problems with courage. Which way will we choose? Behavior David in 1 Samuel 17:48, reflecting the attitude of a winner because he ran to meet Goliath.

Courage is the attitude we need when we are facing danger, difficulty or pain. Courage is the nature of standing firm and not stepping back in time to face the challenges, when we act in a spirit of courage, we will face our enemies in the belief that we will win, David has never waited to face a Goliath, but he ran to meet Goliath and beat him.
We can come to our problems the same way as David did in 1 Samuel 17:45, "But David said to the Philistine, You come to me with sword and spear and javelin, but I come to you with the name of the Lord of hosts God of all the armies of Israel that you challenge it. "

We can not run away from trouble, we can not just circling around the issues or we can not ignore every problem we face, what God wants is that we deal with all our courage, because of His promise to Joshua is the same is his promise to us "Did not I have commanded you; and strong and of good courage? Do not be afraid and lose heart. For the Lord your God is with you wherever you go. "


Hidup Penuh Dengan Masalah

Kita hidup dalam zaman yang penuh dengan berbagai tekanan. Minuman keras, penyalahgunaan obat-obatan, perlakuan kejam terhadap anak, pergantian pekerjaan, perceraian dan masih banyak lagi yang harus kita hadapi. Kebanyakan dari masalah-masalah ini merupakan tanda-tanda orang yang tak dapat mengatasi tekanan, mereka tidak bangkit untuk menghadapi Goliat dengan keberanian yang telah Allah sediakan bagi kita semua.

Setiap babak kehidupan mempunyai tekanannya sendiri tak terkecuali dalam tahun-tahun kanak-kanak dan remaja, bahkan angka bunuh diri sedang meningkat diantara kawula muda antara usia tigabelas dan sembilanbelas tahun. Banyak dari anak-anak muda ini tidak tahu bagaimana caranya mengatasi tekanan, karena orangtua mereka juga tidak tahu bagaimana mengatasi tekanan.

Orang-orang yang baru menikah mempunyai tekanan-tekanan. Pada sebuah skala tekanan dari satu hingga seratus, yang baru menikah saja menunjukan angka limapuluh. Begitu banyak penyesuaian yang harus diadakan seperti, penyesuaian keuangan, penyesuaian karir, dan penyesuaian peranan. Banyak pasangan muda tidak siap untuk bangkit menghadapi tantangan itu. Bahkan orangtua tunggal (tak bersuami atau beristri) juga mempunyai tekanan-tekanan yang besar seperti, tantangan keuangan, kesepian, dan penyesuaian pada setiap bidang kehidupan.

Allah tidak memberikan sayap kepada kita untuk terbang lari dari masalah-masalah. Ia tidak mengangkat kita keluar dari dunia untuk menghindarkan kita dari pengalaman tekanan, melainkan Ia memberikan kekuatan kepada kita untuk berjalan melewati tekanan dan dikembangkan justru sewaktu kita berada di bawah tekanan.
Allah mengijinkan ketiga orang Israel; Sadrakh, Mesakh dan Abednego untuk masuk dalam perapian yang menyala-nyala, tetapi Ia memelihara mereka. Allah tidak akan selalu menurunkan panasnya tekanan masalah, namun Ia akan selalu masuk disana bersama dengan kita dan memberikan kita kekuatan untuk mengatasi apapun yang kita hadapi.

Kita dapat mengatasi masalah-masalah dengan salah satu dari empat cara yang cukup terkenal yaitu; Pertama lari menjauh dari masalah, kedua pergi memutari masalah (hanya untuk menghadapinya kembali kemudian), ketiga abaikan semua masalah, atau yang keempat hadapi masalah dengan keberanian. Cara manakah yang akan kita pilih? Perilaku Daud di dalam 1 Samuel 17:48, mencerminkan sikap seorang pemenang karena ia berlari menemui Goliat.

Keberanian adalah sikap yang kita perlukan saat kita sedang menghadapi bahaya, kesulitan atau kesakitan. Keberanian adalah sifat berdiri teguh dan bukannya melangkah mundur pada saat menghadapi tantangan, pada saat kita bertindak dalam roh keberanian, kita akan menghadapi musuh kita dengan keyakinan bahwa kita akan menang, Daud tidak pernah menunggu untuk menghadapi seorang Goliat melainkan ia berlari menemui Goliat dan mengalahkanya.

Kita dapat mendatangi masalah-masalah kita dengan cara yang sama seperti yang Daud lakukan dalam 1 Samuel 17:45, “Tetapi Daud berkata kepada orang Filistin itu: Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama Tuhan semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kau tantang itu.”

Kita tidak dapat lari dari masalah, kita tidak dapat hanya berputar-putar disekitar masalah ataupun kita tidak dapat mengabaikan setiap masalah yang kita hadapi, yang Tuhan inginkan adalah kita menghadapinya dengan segala keberanian kita, karena janji-Nya kepada Yosua adalah sama juga janji-Nya kepada kita “Bukankah telah kuperintahkan kepadamu; kuatkan dan dan teguhkanlah hatimu? Janganlah kecut dan tawar hati. Sebab TUHAN, Allahmu, menyertai engkau, ke mana pun engkau pergi.”


Mount Decision

We can be satisfied with the burning bush and rejoice in our first encounter with a supernatural God. We can be satisfied with the revelation tablets carved by hand and the wisdom of God and everything else that God's doing.
But now we have arrived at the mountain's decision, we are at the "crossroads". God has pulled us out of sin and the world.

He has united us into a people. That's really the journey in the wilderness, God created a people of "the people who do not mean". :
1 Peter 2:10 says: "you who once were not God's people, but which now has become his people, who were not of mercy but now have obtain mercy". God raised slaves and servants who do not have a rough education and self-esteem and instill his own character into themselves and put his name on them.

He brought them out of Egypt and said, "now I'll make you all be my people." He literally created the bride for him. God led the descendants of Abraham to the foot of Mount Sinai, and it was not easy, when the crowd needed food, God wants them to look for him to get bread for them, but instead they just berate Moses and said it is better to return to Egypt.
However, Moses prayed and God provided "manna and quails' The same thing happens when they run out of water, they immediately discredit Moses to express grievances and to speak" how well the days of the past "which they spent in Egypt. God has something better for the people of Israel.

The sad truth in The Book of the output is that the diverse people of that led to the Mount Sinai is not a group of people whom he led across the Jordan River into the promised land. God called them and made them into a nation the first time in their history, he summoned them to a place. A place of blessing and their changes, which in fact they do not want to go.

The blessings they do not consist of places where rocky, but the Lord called them a little market where the treaty in him, a place of intimacy with their creator, who at that time was not offered to anyone else on this planet. It is a secret from the secret place.
Although the first generation of Israel that had gathered around the mountain believed ultimately to the scouts are a coward and retreat from the promised land because of fear, but the real cause of their failure occurs when they are at the foot of Mount Sinai. God meant for all the people of Israel came up to him on the mountain, but they feel uncomfortable.

Exodus 20:18 says: "The whole nation is watching thunder thunder, lightning continued-risk one, trumpets sounded and the mountain smoking. So the nation was frightened and trembling, and they stood afar off. They said to Moses: "You are talking to us, then we will listen, but let not God speak with us, lest we die." But Moses said unto the people: "Fear not, for God has come with the intention to try you, and with the intent to fear him is in you, that ye sin not." As the nation stood at a distance, but Moses went near a black dew in which God exists. "

They heard the lightning and thunder, and they retreated out of fear, they fled from his presence and not advanced as that of Moses. So the end result of their escape from the sacred intimate relationship with God is that they die before they or their children into the promised land. This is not God's plan for the first generation of Israelites to die in the wilderness, he wanted to bring those who had brought him out of the land of slavery to the promised land.

He wants to give their land and their own heritage. Their destruction came when they looked across the Jordan to the promised land and began to retreat, they retreated from the presence of God in the clouds on Mount Sinai. That's where they ran from God and demanded Moses stood between them, the church has suffered the same problem since then.
We would prefer if there was someone standing between us and God, we have a something that is inspired from Hell, the human fear of the holy intercourse with God.
The root of this fear back as far back as the Garden of Eden. Adam and Eve hid themselves in fear of embarrassing while God missed a sweet fellowship.


Gunung Keputusan

Kita dapat menjadi puas dengan semak yang terbakar (Keluaran 3:2) dan bersukacita atas perjumpaan kita yang pertama dengan Tuhan yang adikodrati. Kita dapat menjadi puas dengan loh-loh penyataan yang diukir oleh tangan dan hikmat Tuhan dan segala sesuatu yang lainnya yang Tuhan kerjakan.

Tetapi sekarang kita telah tiba di gunung keputusan, kita sedang berada di “persimpangan jalan”. Tuhan telah menarik kita keluar dari dosa dan dari dunia.
Dia telah menyatukan kita menjadi suatu umat. Itulah sebenarnya perjalanan di padang gurun, Tuhan menciptakan suatu umat dari “orang-orang yang tidak berarti”. :
1 Petrus 2:10 mengatakan: “kamu, yang dahulu bukan umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umat-Nya, yang dahulu tidak dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihan”. Tuhan mengangkat budak dan hamba kasar yang tidak memiliki pendidikan dan harga diri dan menanamkan karakter-Nya sendiri kedalam diri mereka dan menempelkan nama-Nya atas mereka .

Dia membawa mereka keluar dari Mesir dan berkata, “sekarang Aku akan membuat engkau sekalian menjadi umat-Ku.” Dia secara literal menciptakan pengantin wanita bagi-Nya. Tuhan memimipin keturunan Abraham ke kaki gunung Sinai, dan itu tidaklah mudah.Ketika orang banyak membutuhkan makanan, Tuhan ingin agar mereka mencari Dia untuk mendapatkan roti bagi mereka, namun sebaliknya mereka justru mencaci maki Musa dan berkata adalah lebih baik untuk kembali ke Mesir.

Namun demikian, Musa berdoa dan Tuhan menyediakan “burung puyuh dan manna” Hal yang sama terjadi ketika mereka kehabisan air, mereka segera memojokkan Musa untuk mengungkapkan keluhan dan berbicara “betapa baiknya hari-hari yang silam” yang mereka lalui di Mesir. Tuhan memiliki sesuatu yang lebih baik bagi bangsa Israel.

Kebenaran yang menyedihkan dalam Kitab keluaran adalah bahwa kelompok umat Tuhan yang beragam yang dipimpin kegunung Sinai adalah bukan kelompok orang yang Dia pimpin melintasi sungai Yordan menuju tanah perjanjian. Tuhan memanggil mereka dan membuat mereka menjadi suatu bangsa yang pertama kali dalam sejarah mereka, Dia memanggil mereka ke suatu tempat. Suatu tempat berkat dan perubahan mereka, dimana sebenarnya mereka tidak mau pergi.
Berkat-berkat mereka tidak terdiri dari tempat-tempat yang berbatu tetapi Tuhan memanggil mereka kesuatu tempat perjanjian di dalam Dia, suatu tempat keintiman dengan pencipta mereka, yang pada saat itu tidak ditawarkan kepada orang lain di planet ini. Itu merupakan suatu rahasia dari tempat rahasia.

Meskipun generasi yang pertama bangsa Israel yang berkumpul seputar gunung pada akhirnya percaya kepada para pengintai yang pengecut dan mundur dari tanah perjanjian karena takut, namun penyebab yang sesungguhnya dari kegagalan mereka terjadi pada saat mereka berada di kaki gunung Sinai. Tuhan bermaksud agar semua bangsa Israel datang mendekat kepada-Nya di gunung itu, tetapi mereka merasa tidak nyaman.

Keluaran 20:18 mengatakan: “Seluruh bangsa itu menyaksikan guruh mengguntur, kilat sabung-menyabung, sangkakala berbunyi dan gunung berasap. Maka bangsa itu takut dan gemetar dan mereka berdiri jauh-jauh. Mereka berkata kepada Musa: “Engkaulah berbicara dengan kami, maka kami akan mendengarkan; tetapi janganlah Allah berbicara dengan kami, nanti kami mati.” Tetapi Musa berkata kepada bangsa itu: “Janganlah takut, sebab Allah telah datang dengan maksud untuk mencoba kamu dan dengan maksud supaya takut akan Dia ada padamu, agar kamu jangan berbuat dosa.” Adapun bangsa itu berdiri jauh-jauh, tetapi Musa pergi mendekati embun yang kelam di mana Allah ada.”

Mereka mendengar kilat dan guntur, dan mereka mundur karena takut, mereka melarikan diri dari hadirat-Nya dan bukan maju seperti yang dilakukan oleh Musa. Jadi hasil akhir dari pelarian diri mereka dari hubungan intim yang kudus dengan Allah adalah bahwa mereka mati sebelum mereka atau anak-anak mereka masuk kedalam tanah perjanjian.

Ini bukan rencana Tuhan bagi generasi pertama dari bangsa Israel untuk mati di padang gurun, Dia ingin membawa mereka yang telah dibawa-Nya keluar dari tanah perbudakan ketanah perjanjian. Dia ingin memberikan kepada mereka tanah dan warisan milik mereka sendiri. Kehancuran mereka datang ketika mereka melihat keseberang Yordan ke tanah perjanjian dan mulai mundur, mereka mundur dari hadirat Tuhan dalam awan di gunung Sinai. Di sanalah mereka lari dari Tuhan dan menuntut Musa berdiri di antara mereka, gereja telah menderita persoalan yang sama sejak waktu itu.
Kita lebih suka jika ada seseorang berdiri di antara kita dan Allah, kita memiliki suatu, sesuatu yang diilhamkan dari Neraka, yaitu ketakutan manusiawi terhadap hubungan intim yang kudus dengan Tuhan.
Akar dari ketakutan ini kembali jauh kebelakang ke Taman Eden. Adam dan Hawa menyembunyikan diri dalam ketakutan yang memalukan sementara Tuhan merindukan suatu persekutuan yang manis.


A Truth Itself

The trend is already well established within the church is to underestimate the nature of salvage, with no more than interpret such changes themselves, or the remission of sins, or personal passport to Heaven, or just as a personal mystic experiences, which have no social or moral consequences. Understanding of salvation should we free caricatures such as this, the doctrine of salvation we must show the full biblical sense because salvation is the radical transformation at the start now, be continued as long as we live in the world and perfected will be at the coming of Jesus' second coming.

As believers in Christ, we must be alert to the actual truth of separation is unity.

First, we should not separate the safety of the kingdom of God, because in the Bible both are synonyms, alternative models to describe the work of God the same. In Isaiah 52:7 says: "How wonderful it is visible from the top of the hills coming of anchor, a peaceful preaching and proclaiming the good news, which spread the news and said congratulations to Sion:" God is King! ".

They are preaching preach peace is also a good-news, that is, where God ruled there was rescue. Salvation is the blessing of his reign, so clearly that enter God's kingdom is synonymous with salvation.

If synchronized, there must have been us admit, then the notion of salvation rose gets a wider meaning. For the kingdom of God is the dynamic reign of God, who barged into the history of mankind through Jesus, face, fight and defeat crime, distribution of personal and communal well-being sustainable, protecting his people with blessing and a total claim as his own .

Church of the Kingdom was intended to be a community, a guiding model of a community that has been placed himself under the rule of God, and an alternative that becomes a challenge to secular society that enter into the kingdom of God is to enter into a new era, which has long already promised in the Old Testament, and now we're looking forward to the fulfillment of the Kingdom of God is perfect when our body, our society and the universe will be renewed, and all sin, pain, futility, illness and death will be abolished all of them.

Second, we should not be separated from Jesus as Savior Jesus Christ as Lord. It sounds almost absurd, but the reality is that many argue, should accept Jesus as Savior while they postpone surrender to Him as Lord.

From his position as supreme and sovereign authorities to act, He can bestow the gift of salvation and the Spirit. Precisely because He is God so He can save.

To His deity far beyond the small field of our religious life, and covers all areas of our experience is both open to the outside world and the hidden, at home, in church, as citizens, or the responsibility of the Church as well as our social responsibility.

Third, we should not separate faith from love. Christians have always emphasized the Faith. Solafide, "only by faith" is one slogan of the Reformation, which was not allowed to doubt.'Justification' or, more precisely we restore our worthiness before God, that's not happening because of good deeds we have done or what we can do, it occurred solely thanks to the grace of God, we really do not deserve, and are given only because the basis of willingness Jesus Christ to redeem us from sin and death through his death and in a simple way to put our trust in Him.

This central truth of the Gospel that can not be on the bargaining. But, although the recovery of human worthiness can only occur solely because of faith, but faith is not faith who are unemployed or stand idle. He was the authentic meaning of life and he will immediately manifests itself in the form of good deeds. If not she is a false faith.

Jesus himself had taught this to us in His image provided about the separation of 'sheep' of the 'goat' in the Last Judgement Day.


Hakikat Suatu Kebenaran

Kecenderungan yang sudah mapan dalam gereja ialah menyepelekan hakikat penyelamatan, dengan mengartikannya tidak lebih dari semacam perubahan diri, atau pengampunan atas dosa-dosa, atau paspor pribadi ke sorga, ataupun hanya sebagai pengalaman mistik pribadi, yang tidak mempunyai konsekuensi sosial maupun moral.

Pengertian keselamatan harus kita bebaskan dari karikatur-karikatur seperti ini, ajaran tentang keselamatan harus kita tampilkan dalam arti Alkitabiah yang sepenuhnya sebab keselamatan adalah transformasi radikal yang di awali kini, dilanjutkan selama kita hidup di dunia dan disempurnakan kelak pada kedatangan Yesus yang kedua kali.
Sebagai orang percaya kepada Kristus, kita harus waspada terhadap pemisahan-pemisahan kebenaran yang sebenarnya adalah satu.

Pertama, kita tidak boleh memisahkan keselamatan dari Kerajaan Allah, sebab dalam Alkitab dua-duanya adalah sinonim, model-model alternatif untuk menggambarkan pekerjaan Allah yang sama. Di dalam Yesaya 52:7 mengatakan: “Betapa indahnya kelihatan dari puncak bukit-bukit kedatangan pembawa berita, yang mengabarkan berita damai dan memberitakan kabar baik, yang mengabarkan berita selamat dan berkata kepada Sion: "Allahmu itu Raja!".
Mereka yang mengabarkan berita damai adalah juga yang mengabarkan berita selamat, artinya, dimana Allah memerintah di situ Ia menyelamatkan. Keselamatan adalah berkat pemerintahan-Nya, jadi jelas bahwa masuk kerajaan Allah adalah identik dengan diselamatkan.

Jika keidentikan ini sudah kita akui, maka pengertian keselamatan itupun mendapat makna yang lebih luas. Sebab Kerajaan Allah adalah pemerintahan Allah yang dinamis, yang menerobos masuk ke dalam sejarah umat manusia melalui Yesus, menghadapi, memerangi, dan mengalahkan kejahatan, menyebarluaskan kesejahteraan pribadi dan komunal yang lestari, mengayomi umat-Nya dengan memberkati dan mengklaimnya secara total selaku milik-Nya.

Gerejalah yang dimaksudkan menjadi masyarakat Kerajaan itu, suatu model penuntun dari suatu persekutuan yang sudah menempatkan dirinya di bawah pemerintahan Allah, dan suatu alternatif yang menjadi tantangan bagi masyarakat sekuler bahwa masuk ke dalam Kerajaan Allah berarti masuk ke dalam suatu zaman yang baru, yang sejak lama sudah dijanjikan dalam Kitab Perjanjian Lama, dan kini kita sedang menantikan penggenapan Kerajaan Allah itu secara sempurna apabila tubuh kita, masyarakat kita dan alam semesta akan diperbaharui, dan segala dosa, kesakitan, kesia-siaan, penyakit serta kematian akan dihapuskan semuanya.

Kedua, kita tidak boleh memisah Yesus sebagai Juruselamat dari Yesus sebagai Tuhan. Kedengarannya hampir tidak masuk akal, namun kenyataannya ialah bahwa banyak yang berpendapat, boleh menerima Yesus sebagai Juruselamat sementara mereka menunda penyerahan diri kepada-Nya sebagai Tuhan.
Dari kedudukan sebagai penguasa tertinggi dan yang berdaulat untuk bertindak, Ia dapat melimpahkan keselamatan dan karunia Roh. Justru karena Ia adalah Tuhan maka Ia dapat menyelamatkan.
Ke-Tuhanan-Nya jauh melampaui bidang kecil hidup keagamaan kita, dan mencakup semua bidang pengalaman kita baik yang terbuka kepada dunia luar maupun yang tersembunyi, di rumah, di gereja, sebagai warga negara atau dalam tanggung jawab Injili maupun tanggung jawab sosial kita.

Ketiga, kita tidak boleh memisahkan iman dari kasih. Orang Kristen memang selalu menitikberatkan Iman. Solafide, “hanya oleh iman” adalah salah satu semboyan Reformasi, yang memang tidak boleh diragukan lagi. ‘Pembenaran’ kita atau lebih tepat lagi pemulihan kelayakan kita di hadapan Allah, itu bukan terjadi karena amal baik yang telah kita lakukan atau yang dapat kita lakukan, itu terjadi semata-mata berkat anugerah Allah, yang sebenarnya kita tidak layak menerimanya, dan diberikan hanya karena atas dasar kerelaan Yesus Kristus menebus kita dari dosa dan maut melalui kematian-Nya dan dengan cara sederhana menaruh percaya kita pada Dia.

Kebenaran Injil yang sentral ini memang tidak bisa di tawar-tawar. Tapi, meskipun pemulihan kelayakan manusia hanya dapat terjadi semata-mata berkat iman, namun iman itu bukan iman yang menganggur atau berpangku tangan. Ia adalah otentik artinya ia hidup dan akan langsung menampakkan diri dalam wujud perbuatan-perbuatan baik. Jika tidak ia adalah iman yang palsu.
Yesus sendiri telah mengajarkan ini kepada kita dalam gambaran yang diberikan-Nya tentang pemisahan ‘domba’ dari ‘kambing’ pada Hari Penghakiman Terakhir.


4 Characteristics Of Christian

Towards evening His disciples came to Him and said: “This place is quiet and it was already night. Send the crowds away so they can buy food in the villages. “But Jesus said to them:” No need for them to go, you have to feed them. “They said:” What is to us here only five loaves and two fish, Jesus looked up into the sky and give thanks and break bread and give it to His disciples, and His disciples passed them out to the crowd and they all ate and were satisfied.
Then the person collecting the pieces of meat that was left, twelve baskets full. Who ate were about five thousand men not including women and children.

The story of the ministry of Jesus Christ was on record in the book of Matthew 14:13-21 and the Gospel of John 6:5-15 and the picture that we can take the above that there are 4 characters that represent the Christian believers today;

The first figure, is The Most. Gospel of John 6:1-2 notes: “After that He went out the other side of the lake of Galilee Lake Tiberias, the crowds followed him in droves, because they saw the miracles of healing that is held against his people sick. We see here a lot of people to follow Jesus but with wrong motives, their motivation to follow Jesus instead of the true faith but only because they want to see miracles.

And there are also so many people who want healing miracles occur in his life but to accept Him as Savior / messiah is almost no sense in their minds. How can they accept Him as Savior, He is the son of a carpenter but why He can perform miracles? That’s what a debate throughout the history, habits of a group of people a lot of this is when they’ve hit on the state where money is no longer reliable, physician or physicians have raised their hands can not do anything, they just want to give up their lives to the choice Their last; “Whatever it heal me.”
Where is God when they are happy? When they are rich? When they rank? When they were in high social status? When they fulfilled? God only stored in a cupboard in the book of the holy book, which can only be opened once a week or once a year if they have any free time and joy in the heart.

The second figure, is Philip. Gospel of John 6:5-7 noted: “When Jesus looked around Him and saw that the people in droves to come to Him, He said to Philip,” Where are we going to buy bread, so they can eat? “This is He said to test him, for He Himself knew what he would do. Philip answered him, “two hundred denarii worth of bread would not be enough for them, that each may take a little.”

Philip is one of the disciples of Jesus are in the order of the Apostles is the fifth named after John (Luke 6:12-16), and he also had brought the Greeks came to Jesus (John 12:20-22). But we see here is Philip Faith Faith filled with logic, he measures the prices of Faith was only reached the number two hundred dinars, and he thought it would not be enough.
In his mind how could feed five thousand men, not including women and children (Matthew 14:21). Dinars or denarius (Greek: denarion) is a Roman silver currency at that time and one dinar is a daily wage worker in one day. If we use the current exchange rate, such as daily wage worker a day is IDR 50,000 x 200 dinars = IDR 10,000,000 Logically Philip, five thousand men and their wives are also his children may be about fifteen thousand people who must be fed. He could not feed with the money of IDR 10 million : 15,000 people = IDR 667 each person
Because it he says: “two hundred denarii worth of bread would not be enough for them, that each may take a little.” At least he needs money IDR 150 million or 3000 Dinars, for to eat IDR 10,000 each person than fifteen thousand people.

Faith is filled with logic will not be able to see the glory of God. We may not have a state like Philip to feed a lot of people with money are limited, but we may face financial problems in our families where we have to struggle amid a difficult economy we may lose jobs, we may have to pay the arrears-overdue debt us while our finances are not sufficient, the need for the future of our children in the study or whatever it is, and we feel that it is impossible to get out of the question.

Jesus can solve problems that we face. And it came to pass, that, as the people pressed upon him to hear the word of God, He stood by the lake of Gennesaret, and saw two ships standing by the lake: but the fishermen were gone out of them, and were washing their nets.
And He entered into one of the ships, which was Simon’s, and prayed him that He would thrust out a little from the land. And He sat down, and taught the people out of the ship. when He had left speaking, He said unto Simon, Launch out into the deep, and let down your nets for a draught.
And Simon answering said unto Him, Master, we have toiled all the night, and have taken nothing: nevertheless at thy word I will let down the net. And when they had this done, they inclosed a great multitude of fishes: and their net brake. And they beckoned unto their partners, which were in the other ship, that they should come and help them. And they came, and filled both the ships, so that they began to sink.

Philip and Simon face as well that we are facing today but they want to obey the command. God wants us to want to leave deeper in knowing the truth of the Word of God because He wants to bless us, whether we want to use logic or faith adherence to the problems we face? Thanks are waiting for us in obedience.

The third figure, was Andrew. Gospel of John 6:8-9, noting: “One of his disciples, Andrew brother of Simon Peter said to him:” Here there is a child who has five barley loaves and two fishes, but what are they among so many ? “
Many things which God created miracles before the eyes of the disciples but Andrew, the five barley loaves and two fish is food that does not mean to fifteen thousand people, if we do not wear eye of faith in this life and all things that we do not look there will be hope and maybe we will see the shadows of life that are not clear because we do not believe in Him.

Waves of life may be hitting our lives, and we’ll say I will fall God …! What is left to us now? speck of Faith? Speck believe? a speck of hope? a speck of talent? Or even the smallest of our lives. God wants to use it for exceptional cases to the glory of his name but to where do we trust to Him.
Peter in his fear began to sink when she felt the breeze as he walked on water to meet Jesus. What does this say of the Lord Jesus? “Men who lack confidence, why do you hesitate?” (Matthew 14:30-31). Storms may come, the waves may hit us but our faith views let it stay focused on Jesus and we will see the miraculous and extraordinary things, God will do for us.

The fourth character, is a small child, the Gospel of John 6:9, notes: “Here there is a child who has five barley loaves and two fishes, but what are they among so many?”. The ministry of Jesus is not limited by age, social status, or one ethnic group but includes a universal service. And this kid give an idea of sincerity, not selfish and believe in the true faith.
He believes Jesus and give all his property to be able to bless many people and he believes that he will not lose anything if he gives what Jesus asked. Why would a small child that gives the five barley loaves and two fish to Jesus, whether the adults did not bring lunch, in addition to small children?

Sometimes distrust and fear of losing one’s own selfish often makes us so shut the eyes of our hearts to bless others, we may even have more confidence to the money or our possessions than we believe in Jesus as a source of blessing.
Day night wore on, the life of this world will disappear with all its desires, the world is crying in its destruction and many people who need our help, whether maybe they were hungry for the Word of God or they are silent in their selfishness, which is obviously God still loves them and God requires the heart like a child to serve them. Do we have a heart?


4 ciri orang Kristen

Menjelang malam murid murid-Nya datang kepada-Nya dan berkata: “Tempat ini sunyi dan hari sudah mulai malam. Suruhlah orang banyak itu pergi supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa . “Tetapi Yesus berkata kepada mereka: “Tidak perlu mereka pergi , kamu harus memberi mereka makan.” Jawab mereka: “Yang ada pada kami di sini hanya lima roti dan dua ikan itu, Yesus menengadah ke langit dan mengucap berkat , lalu memecah-mecahkan roti itu dan memberikanya kepada murid murid-Nya, lalu murid murid-Nya membagi-bagikannya kepada orang banyak dan mereka semuanya makan sampai kenyang.

Kemudian orang mengumpulkan potongan-potongan roti yang sisa, dua belas bakul penuh. Yang ikut makan kira-kira lima ribu laki-laki tidak termasuk perempuan dan anak-anak.
Cerita tentang pelayanan Yesus Kristus ini di catat di dalam kitab Injil Matius 14:13-21 dan Injil Yohanes 6:5-15 dan gambaran yang bisa kita ambil di atas bahwa ada 4 tokoh yang mewakili orang Kristen percaya saat ini;

Tokoh yang pertama, adalah Orang Banyak. Injil Yohanes 6:1-2 mencatat: “Sesudah itu Yesus berangkat keseberang danau Galilea yaitu danau Tiberias, orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia, karena mereka melihat mujizat-mujizat penyembuhan yang di adakan-Nya terhadap orang-orang sakit. Kita melihat disini banyak orang mengikuti Yesus tapi dengan motivasi yang salah, motivasi mereka mengikuti Yesus bukan dari iman yang sesungguhnya melainkan hanya karena mereka ingin melihat mujizat.

Dan ada juga begitu banyak orang yang menginginkan mujizat kesembuhan terjadi dalam kehidupannya tapi untuk menerima Dia sebagai Juruselamat/messias adalah hampir tidak masuk akal dalam pikiran mereka. Bagaimana mereka mau menerima Dia sebagai Juruselamat, Dia hanyalah anak seorang tukang kayu tapi kenapa Dia bisa melakukan mujizat? Hal itulah yang menjadi perdebatan sepanjang sejarah, Kebiasaan dari sekelompok orang banyak ini adalah ketika mereka sudah terbentur pada keadaan dimana uang sudah tidak bisa diandalkan lagi, tabib atau dokter sudah angkat tangan tidak bisa berbuat apa-apa, mereka baru mau menyerahkan hidup mereka kepada pilihan terakhir mereka; “Apapun itu sembuhkanlah saya.”

Dimana Tuhan ketika mereka senang? Ketika mereka kaya? Ketika mereka berpangkat? Ketika mereka dalam status sosial yang tinggi? Ketika mereka tercukupi? Tuhan hanya disimpan dalam lemari buku dalam kitab yang kudus, yang hanya bisa di buka sekali seminggu atau sekali setahun itupun kalau ada waktu senggang dan sukacita dalam hati.

Tokoh yang kedua, adalah Filipus. Injil Yohanes 6:5-7 mencatat: “Ketika Yesus memandang sekeliling-Nya dan melihat bahwa orang banyak berbondong-bondong datang kepada-Nya, berkatalah Ia kepada Filipus: “Dimanakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?” Hal ini dikatakan-Nya untuk mencobai dia, sebab Ia sendiri tahu, apa yang hendak dilakukan-Nya. Jawab Filipus kepada-Nya: “Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja.”

Filipus adalah salah satu murid Yesus yang dalam urutan rasul-rasul namanya menempati urutan kelima sesudah Yohanes (Lukas 6:12-16), dan dia juga yang telah membawa orang-orang Yunani datang pada Yesus (Yohanes 12:20-22). Tapi kita melihat disini Iman Filipus adalah Iman yang penuh dengan logika, dia mengukur harga Iman itu hanya sampai di bilangan dua ratus dinar, dan itu tidak akan cukup pikirnya.

Dalam pikirannya bagaimana bisa memberi makan 5 ribu orang laki-laki, tidak termasuk perempuan dan anak-anak (Matius 14:21). Dinar atau denarius (Yunani: denarion) adalah mata uang perak Romawi pada waktu itu dan satu dinar adalah upah pekerja harian dalam satu hari. Apabila kita memakai kurs sekarang ini, misalnya upah pekerja harian satu hari adalah Rp. 50.000 x 200 dinar = Rp. 10.000.000. Logikanya Filipus, lima ribu laki-laki dan istri mereka juga anak-anaknya mungkin sekitar lima belas ribu orang yang harus diberi makan. Dia tidak bisa memberi makan dengan uang Rp. 10.000.000 : 15000 orang = Rp. 667/orang
Karena itu dia katakan : “Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja.” Paling tidak dia membutuhkan uang Rp. 150.000.000 atau 3000 Dinar untuk makan Rp. 10.000/orang dari lima belas ribu orang.

Iman yang dipenuhi dengan logika tidak akan bisa melihat mujizat Tuhan. Kita mungkin tidak mengalami keadaan seperti Filipus untuk memberi makan sejumlah banyak orang dengan uang yang terbatas, tapi kita mungkin menghadapi masalah keuangan dalam keluarga kita dimana kita harus berjuang ditengah perokonomian yang sulit, kita mungkin kehilangan pekerjaan, kita mungkin harus membayar tunggakan-tunggakan hutang perusahaan kita sementara keuangan kita tidak mencukupi, kebutuhan akan masa depan anak-anak kita dalam studi atau apapun itu, dan kita merasa bahwa mustahil kita bisa keluar dari persoalan tersebut.

Yesus dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang kita hadapi. Pada suatu kali Yesus berdiri di pantai danau Genesaret sedang orang banyak mengerumuni Dia hendak mendengarkan Firman Allah. Ia melihat dua perahu ditepi pantai, nelayan-nelayannya telah turun dan sedang membasuh jalanya. Ia naik kedalam salah satu perahu itu, yaitu perahu simon dan menyuruh dia supaya menolakkan perahunya sedikit jauh dari pantai. Lalu Ia duduk dan mengajar orang banyak dari atas perahu.

Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada simon: “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.” Simon menjawab: “Guru telah sepanjang malam kami bekerja keras dan tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” Dan setelah mereka melakukanya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak. Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya diperahu yang lain supaya mereka datang membantunya. Dan mereka itu datang, lalu mereka bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan hingga hampir tenggelam.

Filipus dan simon menghadapi seperti juga yang kita hadapi sekarang ini tetapi mereka mau taat kepada perintah. Tuhan ingin kita mau bertolak lebih dalam lagi dalam mengenal akan kebenaran Firman Tuhan karena Dia ingin memberkati kita, apakah kita mau memakai logika atau Iman ketaatan dalam masalah yang kita hadapi? Berkat sedang menunggu kita dalam ketaatan.

Tokoh yang ketiga, adalah Andreas. Injil Yohanes 6:8-9, mencatat: “Seorang dari murid murid-Nya, yaitu Andreas saudara Simon Petrus berkata kepada-Nya: “Disini ada seorang anak yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan, tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?”

Banyak perkara mujizat yang Tuhan buat dihadapan para murid-murid tetapi dimata Andreas, lima roti jelai dan dua ikan hanyalah makanan yang tidak berarti untuk lima belas ribu orang, jika kita tidak memakai mata iman dalam hidup ini maka segala sesuatu yang yang kita kerjakan kelihatan tidak akan ada harapan dan mungkin kita akan melihat bayang-bayang hidup yang tidak jelas karena kita kurang percaya kepada Dia.
Gelombang kehidupan mungkin menghantam hidup kita, dan kita akan berkata saya akan jatuh Tuhan...!! Apakah yang tersisa pada kita sekarang? setitik Iman? Setitik percaya? setitik pengharapan? setitik talenta? Atau sekalipun yang terkecil dalam hidup kita. Tuhan mau pakai itu untuk perkara yang luar biasa untuk kemuliaan nama-Nya tapi sampai dimanakah kepercayaan kita kepada Dia.

Petrus dalam ketakutannya mulai tenggelam ketika dia merasakan tiupan angin ketika dia berjalan diatas air untuk menemui Yesus. Apa yang dikatakan Tuhan Yesus? “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?” (Matius 14:30-31). Badai boleh datang, gelombang boleh menerpa kita tapi biarlah pandangan Iman kita itu tetap fokus pada Yesus dan kita akan melihat perkara ajaib dan luar biasa, Tuhan akan kerjakan bagi kita.

Tokoh yang keempat, adalah Anak kecil, Injil Yohanes 6:9, mencatat: “Disini ada seorang anak yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan, tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?”. Pelayanan Yesus tidak terbatas pada usia, status sosial, atau salah satu suku bangsa tapi mencakup pelayanan yang universal. Dan anak kecil ini memberikan gambaran tentang ketulusan hati, tidak egois dan percaya dalam iman yang sejati.

Dia mempercayai Yesus dan memberikan semua miliknya untuk bisa memberkati banyak orang dan dia percaya bahwa dia tidak akan kehilangan apapun apabila dia memberikan apa yang Yesus minta. Kenapa anak kecil yang memberikan lima roti jelai dan dua ikan kepada Yesus, apakah orang-orang dewasa tidak membawa bekal, selain anak kecil tersebut?
Kadang kala rasa tidak percaya dan takut kehilangan milik sendiri sering menjadikan kita egois sehingga menutup mata hati kita untuk memberkati orang lain, bahkan mungkin kita lebih percaya kepada uang atau harta benda kita dari pada kita mempercayai Yesus sebagai sumber berkat.

Hari semakin larut malam, kehidupan dunia ini akan lenyap dengan segala keinginannya, dunia sedang menangis dalam kehancurannya dan masih banyak orang-orang yang membutuhkan pertolongan kita, entah mungkin mereka lapar akan Firman Tuhan ataupun mereka diam dalam keegoisan mereka, yang jelas Tuhan tetap mengasihi mereka dan Tuhan membutuhkan hati seperti seorang anak kecil untuk melayani mereka. Apakah kita memiliki hati itu?