Ayah Sejati

Selama berpuluh-puluh tahun, para ayah telah menyerahkan tanggung jawab utama untuk mengasuh anak pada para istri, seakan satu-satunya tugas mereka hanyalah membawa pulang gaji. Tapi saat ini bukti bertumpuk yang menyatakan bahwa peran ayah sangat penting untuk perkembangan emosi dan intelektual anak-anaknya. Sayangnya banyak laporan-laporan suram dari daerah kumuh kota tentang patologi kejahatan dan sosial disebabkan oleh apa yang istilah psikologinya “ketidak-hadiran ayah.”

Tapi bentuk ketidak-hadiran ayah yang paling umum bukan di daerah kumuh, itu terjadi dalam keluarga-keluarga dimana para ayah tidak terlibat dalam kehidupan anak-anaknya.
Para ayah yang bekerja enam puluh jam dalam seminggu, pulang untuk duduk di depan televisi atau di belakang surat khabar, mereka menggantikan kehadiran mereka dengan hadiah-hadiah boneka atau permainan-permainan lainnya yang di anggap dapat menggantikan tawa canda mereka terhadap anak-anak.

Pada umumnya mereka tidak ingin di ganggu ketika mereka berada di rumah.
Pekerjaan, rutinitas, kesibukan apapun yang mereka jalani sepanjang hari diluar rumah sangat menguras energi, sehingga ketika mereka berada di rumah mereka menginginkan ketenangan, kedamaian, bukan teriakan-teriakan dari anak-anak, bahkan sebagian ayah yang tidak tahan akan ketidak nyamanan dalam rumah, akan memilih untuk pulang lebih larut malam atau bahkan tidak pulang sama sekali untuk menghindari anak-anak mereka.

Sepenting apakah pekerjaan kita sebagai ayah? sehingga waktu untuk anak-anak kita hampir tidak ada sama sekali.
Bagaimanakah tanggung jawab kita terhadap anak-anak kita? Apakah cukup sebatas pemberian uang dan hadiah-hadiah? Kita wajib memperhatikan titipan-titipan Tuhan yang sudah ada bahkan yang akan ada lagi lebih banyak. “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka; “beranak cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukanlah itu…..(Kejadian 1:28).

Peran ayah bukan hanya memenuhi setiap kebutuhan akan hidup seperti makan, minum atau tempat tinggal tapi juga pemenuhan akan cinta, kasih, dan perhatian kepada anak-anak adalah sangat penting. Sehingga pembentukan karakter, emosi dan intelektual anak bisa berjalan dengan seimbang. Seorang ayah yang baik harus bisa membagi waktu dengan baik antara pekerjaan dan keluarganya, dan harus bijaksana menentukan mana yang terbaik akan pilihan-pilihan hidup.
Hubungan seorang anak dengan ayah juga merupakan sebuah faktor yang
menentukan dalam kesehatan, perkembangan, dan kebahagiaan anak tersebut.
Pertimbangkan temuan-temuan yang didokumentasikan dengan baik
berikut ini:

Dr. Loren Moshen dari Natioanal Institute of Mental Health, menganalisis orang-orang yang disensus di Amerika Serikat dan menemukan bahwa: ketidak-hadiran seorang ayah menjadi faktor yang lebih kuat dalam kontribusi kenakalan anak-anak daripada faktor kemiskinan.

Sekelompok ilmuwan Yale tentang perilaku mempelajari kenakalan anak-anak dalam 48 kebudayaan di seluruh dunia dan menemukan bahwa tingkat kejahatan tertinggi di antara orang-orang dewasa adalah mereka yang masa kanak-kanaknya hanya dibesarkan oleh seorang wanita, ini tidak dimaksudkan untuk mengecilkan peran dari single mother, tapi hanya untuk melihat bahwa peran seorang bapak yang mencintai keluarga dalam keluarga yang lengkap sangat penting dalam sebuah keluarga.
Martin Deutsch menemukan bahwa kehadiran dan percakapan seorang ayah, khususnya saat makan malam, menstimulasi seorang anak untuk berprestasi lebih baik disekolah.

Sebuah studi dari 1.337 dokter medis yang lulus dari Johns Hopkins University antara 1948 dan 1964 menemukan bahwa tidak adanya kedekatan dengan orang tua adalah faktor umum dalam hipertensi, penyakit jantung koroner, tumor ganas, penyakit mental dan bunuh diri.

Sebuah penelitian terhadap 39 gadis remaja yang menderita penyimpangan pola makan, anorexia nervos, menunjukkan bahwa 36 di antaranya mempunyai satu denominator yang sama yaitu tidak adanya hubungan yang dekat dengan ayah mereka..
Para peneliti Johns Hopkins University menemukan bahwa gadis-gadis remaja kulit putih yang hidup dalam keluarga tanpa ayah, mempunyai kecenderungan 60% melakukan hubungan seks di luar nikah dibandingkan dengan mereka yang tinggal dalam keluarga dengan kedua orang tua.

Tentunya hal yang paling penting bagi seorang ayah yang sejati adalah takut akan Tuhan, karena “Dalam takut akan Tuhan ada ketentraman yang besar, bahkan ada perlindungan bagi anak-anak-Nya.” Takut akan Tuhan adalah sumber kehidupan sehingga orang terhindar dari jerat maut.” (Amsal 14:26-27).
Sudah sampai dimanakah kita menjadi seorang ayah sejati?

What is Love?

This question has echoed for centuries and until now no right answer. What is love is the desire self-searching as portrayed in the poem: "Love only seek pleasure himself alone" or love is the attitude of self-sacrifice as portrayed by the Apostle Paul: "Love covers all things, believes all things, endures all things?"

Whatever love is, it is difficult to understand because love is a strange mixture of things that contradict that it contains love, anger, excitement and boredom, stability and change, restriction and freedom. The most fundamental paradox of love is that the two become one, but two. Love is like a triangle has three sides, namely: Passion (Passion), Intimacy (Intimacy), and Commitment (Commitment).

Passion, the driving side in the triangle that is passion, feeling vibrations that encourage us to make love. Are sensual and sexual arousal, physiological arousal and marked by a great desire for affection expressed physically. Song of Songs tells the physical nature of love between a man and woman in a passionate poem: "May he kiss me with a kiss! Because your love is more delicious than wine "(Song of Songs 1:2). Yet the character also has a passion, encouraging the emergence of an appeal that is limited to an obsession, passion encourages couples to an excessive level of pleasure, to the point where they can no longer be separated. At this stage, other relationships are not even considered anymore.

Intimacy, the emotional side of love triangle that is intimacy. Love without intimacy is just an illusion caused by the influence of hormones. One can not covet other people for a long time without really knowing the person. Intimacy has the quality as "good friends" or "life partner". We all want someone who knows us better than anyone else - and remain willing to accept us, and we want to have someone who does not hide any to us, somebody who entrust the secrets to our own. Intimacy fills our hearts deepest longing be closeness and acceptance.

Those who have succeeded in building an intimate relationship know the strength and beauty of that relationship, but they also know that it is not easy to bear the risks necessary for the emergence of emotional intimacy. Without the painstaking maintenance, intimacy will wither. The lack of intimacy is the main enemy of marriage, because if two people do not know each other deeply, they can not be fused or united into what is called the Bible as "one flesh" Without their intimacy will be cooped up and alone even though they live under the same roof , the emergence of love depends on the closeness, sharing, communication, honesty and support. When two hearts gave each other with each other, marriage provides the most in the intimacy of expression and the most radical.

Commitment, willingness and cognitive side of the triangle of love is commitment, commitment to look into the future that are not visible, and promised to be there - until the end of life. Commitment to create a certainty in the midst of uncertainty. A place for tying the wedding, the couple's commitment to maintain our current love of our passion to be dim and hard times felt very heavy as well as lust anger overwhelms us.
Commitment to say: "I love you are, not because of what you do or what I feel" This illustrates the promise marriage as a gift: "total, definitely, unconditionally ... a personal commitment and can not be changed." Endurance and love health of a marriage depends heavily on the strength of commitment.

Passion, intimacy, and commitment are the elements that hot, warm, and cold in the recipe of love. These elements vary, because the level of intimacy, passion and commitment to change from time to time and from person to person. We can imagine that with the stability of the love triangle realize how love can change the size and shape of the three components of love when it increases or decreases. Area describe the magnitude of the love triangle.

Intimacy, passion and great commitment that will yield greater triangle, the greater the greater the love triangle.
But if one side of the love triangle component becomes longer than the other side, there arose a kind of love that is not balanced, such as:

Romantic love, which is formed from a combination of intimacy and passion components, namely physical attractiveness is mixed with a deep sense of concern but the commitment is not visible in this romantic love.

Love is stupid, generated from a combination of excitement and commitment and no intimacy. Love was called stupid because a commitment was made on the basis of passion, without any elements that stabilize the intimacy.

Love Friendship, arises from a combination of intimacy and commitment while receding backs passion. Love this in essence is an intimate friendship in the long term. This occurs in marriages in which physical attractiveness became less important than the security of being known and recognized by our partners.

Sometimes an unhealthy marriage is built solely on romantic love, or love that stupid, or love of friendship. But perfect love resulting from the combination of the three components intact love: passion, intimacy and commitment. Achieving a perfect love is like achieving our targets in a weight reduction program for the attainment of the ideal, perfect love does not ensure the achievement of that love is certainly eternal, eternal love can be achieved only by how much we put the love of God in our love lives.

Apakah Cinta itu?

Pertanyaan ini bergema selama berabad-abad dan hingga kini belum ada jawaban yang tepat. Apakah cinta itu adalah hasrat pencarian diri sebagaimana yang digambarkan dalam puisi: “Cinta hanya mencari kesenangan diri semata” atau cinta adalah sikap pengorbanan diri sebagaimana yang digambarkan oleh Rasul Paulus: “Kasih menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu?”

Apapun juga cinta itu, tidak mudah untuk dimengerti sebab cinta adalah suatu campuran yang aneh dari hal-hal yang bertentangan yang di dalamnya terkandung kasih sayang, kemarahan, kegairahan dan kebosanan, kestabilan dan perubahan, pembatasan dan kebebasan. Paradoks cinta yang paling mendasar adalah bahwa dua menjadi satu, namun tetap dua. Cinta bagaikan sebuah segitiga, memiliki tiga sisi, yaitu: Gairah (Passion), Keintiman (Intimacy), dan Komitment (Commitment).

Gairah, sisi pendorong dalam segitiga itu adalah gairah, getaran perasaan yang mendorong kita untuk bercinta. Gairah bersifat sensual dan seksual, ditandai oleh rangsangan fisiologis dan suatu keinginan yang besar akan kasih sayang yang dinyatakan secara fisik. Kitab Kidung Agung menceritakan cinta yang bersifat fisik antara seorang laki-laki dan perempuan dalam syair yang penuh gairah: “Kiranya ia mencium aku dengan kecupan! Karena cintamu lebih nikmat daripada anggur” (Kidung Agung 1:2).

Namun gairah juga bersifat memiliki, mendorong timbulnya suatu daya tarik yang terbatas pada obsesi, gairah mendorong pasangan kesuatu tingkat kesenangan yang berlebihan, ketitik dimana mereka tidak dapat lagi dipisahkan. Pada tahap ini, hubungan-hubungan yang lain bahkan tidak dipertimbangkan lagi.

Keintiman, sisi emosional dari segitiga cinta itu adalah keintiman. Cinta tanpa keintiman hanyalah sebuah khayalan yang disebabkan oleh pengaruh hormon. Seseorang tidak dapat mengingini orang lain untuk waktu yang lama tanpa benar-benar mengenal orang itu. Keintiman memiliki kualitas sebagai “teman baik” atau “teman hidup”.
Kita semua menginginkan ada seseorang yang mengenal kita lebih daripada orang lain – dan tetap mau menerima kita, dan kita ingin ada seseorang yang tidak menyembunyikan apapun juga kepada kita, seseorang yang mempercayakan rahasia-rahasia pribadinya kepada kita.

Keintiman mengisi kerinduan hati kita yang terdalam akan kedekatan dan penerimaan.
Mereka yang telah berhasil membangun suatu hubungan yang intim mengetahui kekuatan dan keindahan hubungan itu, tetapi mereka juga mengetahui bahwa tidaklah mudah menanggung resiko-resiko emosional yang diperlukan untuk timbulnya keintiman. Tanpa pemeliharaan yang telaten, keintiman akan layu.

Tidak adanya keintiman adalah musuh utama dari pernikahan, karena jika dua orang tidak saling mengenal secara mendalam, mereka tidak dapat menyatu atau dipersatukan menjadi apa yang disebut Alkitab sebagai “satu daging” Tanpa keintiman mereka akan terkurung dan sendirian sekalipun mereka hidup di bawah atap yang sama, timbulnya cinta tergantung pada kedekatan, saling membagi, komunikasi, kejujuran, dan dukungan. Bila dua hati saling memberi satu dengan yang lainnya, pernikahan menyediakan ekspresi keintiman yang paling dalam dan paling radikal.

Komitmen, sisi kognitif dan kemauan dari segitiga cinta itu adalah komitmen, komitmen memandang ke masa depan yang tidak terlihat dan berjanji akan berada di sana – hingga akhir hayat. Komitmen menciptakan sebuah kepastian di tengah ketidakpastian. Sebagai tempat menambatkan pernikahan, komitment menjaga cinta terhadap pasangan kita saat gairah kita menjadi redup dan masa-masa sulit terasa sangat berat juga ketika nafsu amarah menguasai kita.
Komitmen berkata: “saya mencintaimu apa adanya, bukan karena apa yang engkau perbuat atau apa yang saya rasakan” ini menggambarkan janji pernikahan sebagai suatu anugerah: “total, pasti, tanpa pamrih…sebuah komitmen pribadi dan tidak dapat diubah.” Daya tahan cinta dan kesehatan suatu pernikahan sangat bergantung pada kekuatan komitmen.

Gairah, keintiman, dan komitmen adalah unsur-unsur yang panas, hangat, dan dingin dalam resep cinta. Unsur-unsur ini berbeda-beda, sebab tingkat keintiman, gairah dan komitmen berubah-ubah dari waktu ke waktu dan dari orang ke orang lain. Dapat kita bayangkan kestabilan cinta itu dengan menyadari bagaimana segitiga cinta dapat berubah ukuran dan bentuk bila ketiga komponen cinta itu bertambah atau berkurang. Luas segitiga menggambarkan besarnya cinta.

Keintiman, gairah dan komitmen yang besar akan menghasilkan segitiga yang besar pula, semakin besar segitiga semakin besar cintanya.
Namun bila salah satu sisi dari komponen segitiga cinta itu menjadi lebih panjang dari sisi lainnya, muncullah suatu jenis cinta yang tidak seimbang seperti:

Cinta Romantis, yang terbentuk dari suatu kombinasi antara komponen keintiman dan kegairahan, yaitu daya tarik fisik yang bercampur dengan rasa kepedulian yang mendalam akan tetapi komitmen tidak terlihat dalam cinta romantis ini.
Cinta yang bodoh, dihasilkan dari suatu kombinasi antara kegairahan dan komitmen dan tidak ada keintiman. Cinta ini disebut bodoh karena sebuah komitmen dibuat berdasarkan gairah, tanpa ada unsur yang menstabilkannya yaitu keintiman.
Cinta Persahabatan, muncul dari suatu kombinasi antara keintiman dan komitmen sementara gairah surut kebelakang. Cinta ini pada intinya adalah sebuah persahabatan karib dalam jangka panjang. Hal ini muncul dalam pernikahan di mana daya tarik fisik menjadi kurang penting dibanding dengan rasa aman karena mengenal dan dikenal oleh pasangan kita.

Kadang-kadang pernikahan yang tidak sehat dibangun semata-mata berdasarkan cinta romantis, atau cinta yang bodoh atau cinta persahabatan. Tetapi cinta sempurna dihasilkan dari kombinasi yang utuh dari ketiga komponen cinta: gairah, keintiman dan komitmen.

Mencapai cinta sempurna adalah bagaikan mencapai target kita dalam dalam suatu program pengurangan berat badan untuk pencapaian yang ideal, pencapaian cinta sempurna tidaklah menjamin bahwa cinta itu pasti abadi, cinta abadi dapat dicapai hanya dengan seberapa besar kita menempatkan cinta Tuhan dalam kehidupan cinta kita.

Abortion, Can or Not?

Disagreement about the abortion issue is complicated variety of aspects, legal, theological, ethical, social and personal. This problem is also a very emotional topic, because touching the ins and outs of sexuality and reproduction, and often involves painful problems of an emergency.

What is at stake in the abortion issue is no less than the teachings of our faith about God and man, or more sharply again, the sovereignty of God and the sanctity of human life. All Christians believe that God is all-powerful is the only provider, maintainer, and taker of life.

On the one hand is He who gives life and breath and all things to all people. The Bible says: "For in Him we live, we move, we have, as has been well said by the poet-poet you: Because we are the offspring of God, too." (Acts 17:28). On the other hand, as the psalmist says to God, "If thou hide thy face, they were surprised; if you take their spirit, they die perish and return to dust." (Psalm 104:29).

For Christians to give life and take life is the divine prerogative, and although we can not interpret the command "You should not kill" as an absolute prohibition, because the same laws that prohibit murder, confirmed also in certain situations (for instance the death penalty and holy war).
But taking a human life is a divine prerogative, that may be done only by men of divine mandate. Without this mandate, killing human life is a cruel act that is not of this world.

How any early-stage human embryo in which it was, but everyone must admit that the fetus was alive and it is a human fetus, which is why the practice of abortion reflects a rejection of the biblical view of human dignity. The most solid basis is found in Psalm 139, where the psalmist says, and his admiration for the omniscience of God's presence to the college. About the greatness of God that the psalmist makes important statements about our existence before birth.

"You be the fruit forming waist, I weave in my mother's womb" (Psalm 139:13) and when Ayub asserted: "Your hand is the shape and makes me" (Job 10:8). Psalmist also continued; "I praise thee because of my great event, and magical, magical what you make" (Psalm 139:14).

Testimony of the Psalmist is about relationships that come from the God and preserved by God, so perhaps best if the relationship we call the "Agreement" a unilateral agreement, or covenant grace of God initiated and sustained God.
For God the Creator loves us and connect himself to us long before we can respond through a conscious relationship with Him and not because we know him, but because He knows us too not because we love God, but because He has poured the love to us. Thus, we are all already become a person in the womb of our mothers, because mothers are still in the womb, we've known and loved by God.

Aborsi, Bisa atau Tidak?

Silang pendapat tentang masalah aborsi memang pelik aspeknya bermacam-macam, legal, teologis, etis, sosial dan personal. Masalah itu juga merupakan topik yang sangat emosional, sebab menyentuh liku-liku seksualitas dan reproduksi, dan sering melibatkan dilemma-dilema menyakitkan yang gawat.
Yang menjadi taruhan dalam isu aborsi ini adalah tak kurang dari ajaran iman kita mengenai Allah dan manusia, atau lebih tajam lagi, kedaulatan Allah dan kesucian hidup manusia. Semua orang Kristen percaya bahwa Allah yang maha kuasa adalah satu-satunya pemberi, pemelihara, dan pengambil hidup.

Di satu pihak Dia-lah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang. Alkitab mengatakan: “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga.” (Kisah Para Rasul 17:28). Di lain pihak seperti dikatakan pemazmur pada Allah, “Apabila Engkau menyembunyikan wajah-Mu, mereka terkejut; apabila Engkau mengambil roh mereka, mereka mati binasa dan kembali menjadi debu”.(Mazmur 104:29).

Bagi orang Kristen memberi hidup dan mengambil hidup adalah hak prerogatif ilahi, dan meskipun kita tak dapat mengartikan perintah “Kau tidak boleh membunuh” sebagai larangan mutlak, sebab hukum yang sama yang melarang membunuh, membenarkannya juga dalam situasi-situasi tertentu (Misalnya hukuman mati dan perang suci).
Namun pengambilan hidup seorang manusia adalah prerogatif ilahi, yang boleh dilakukan manusia hanya berdasarkan mandat ilahi. Tanpa mandat ini, menghabisi nyawa manusia adalah perbuatan sadis yang tidak ada taranya.

Betapa dini-pun tahap dalam mana janin manusia itu berada, namun semua orang harus mengakui bahwa janin itu hidup dan janin itu adalah manusia, itu sebabnya praktik aborsi mencerminkan penolakan terhadap pandangan Alkitab tentang martabat manusia.
Dasar yang paling kokoh terdapat dalam Mazmur 139, dimana pemazmur mengatakan kekagumannya pada kemahatahuan dan kemahahadiran Allah. Tentang kebesaran Allah itu pemazmur membuat pernyataan-pernyataan penting tentang keberadaan kita sebelum dilahirkan.

“Engkau-lah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku” (Mazmur 139:13) dan sewaktu Ayub menegaskan: “TanganMu-lah yang membentuk dan membuat aku” (Ayub 10:8). Juga pemazmur meneruskan; “Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib, ajaib apa yang Kau-buat” (Mazmur 139:14).
Kesaksian pemazmur adalah tentang hubungan yang datangnya dari pihak Allah dan dipelihara oleh Allah, jadi mungkin paling tepat kalau hubungan itu kita sebut “Perjanjian” suatu perjanjian unilateral, atau perjanjian anugerah yang diprakarsai Allah dan dipertahankan Allah.

Sebab Allah Sang Khalik mengasihi kita dan menghubungkan diri-Nya pada kita jauh sebelum kita dapat menanggapinya lewat suatu hubungan secara sadar dengan Dia dan bukanlah karena kita mengenal Dia, melainkan karena Dia mengenal kita juga bukan karena kita mengasihi Allah, melainkan karena Dia telah mengalirkan kasih-Nya kepada kita.
Dengan demikian maka semua kita adalah yang sudah menjadi suatu pribadi dalam kandungan ibu kita, sebab masih dalam kandungan ibu, kita sudah dikenal dan dikasihi Allah.