Hakikat Suatu Kebenaran

Kecenderungan yang sudah mapan dalam gereja ialah menyepelekan hakikat penyelamatan, dengan mengartikannya tidak lebih dari semacam perubahan diri, atau pengampunan atas dosa-dosa, atau paspor pribadi ke sorga, ataupun hanya sebagai pengalaman mistik pribadi, yang tidak mempunyai konsekuensi sosial maupun moral.

Pengertian keselamatan harus kita bebaskan dari karikatur-karikatur seperti ini, ajaran tentang keselamatan harus kita tampilkan dalam arti Alkitabiah yang sepenuhnya sebab keselamatan adalah transformasi radikal yang di awali kini, dilanjutkan selama kita hidup di dunia dan disempurnakan kelak pada kedatangan Yesus yang kedua kali.
Sebagai orang percaya kepada Kristus, kita harus waspada terhadap pemisahan-pemisahan kebenaran yang sebenarnya adalah satu.

Pertama, kita tidak boleh memisahkan keselamatan dari Kerajaan Allah, sebab dalam Alkitab dua-duanya adalah sinonim, model-model alternatif untuk menggambarkan pekerjaan Allah yang sama. Di dalam Yesaya 52:7 mengatakan: “Betapa indahnya kelihatan dari puncak bukit-bukit kedatangan pembawa berita, yang mengabarkan berita damai dan memberitakan kabar baik, yang mengabarkan berita selamat dan berkata kepada Sion: "Allahmu itu Raja!".
Mereka yang mengabarkan berita damai adalah juga yang mengabarkan berita selamat, artinya, dimana Allah memerintah di situ Ia menyelamatkan. Keselamatan adalah berkat pemerintahan-Nya, jadi jelas bahwa masuk kerajaan Allah adalah identik dengan diselamatkan.

Jika keidentikan ini sudah kita akui, maka pengertian keselamatan itupun mendapat makna yang lebih luas. Sebab Kerajaan Allah adalah pemerintahan Allah yang dinamis, yang menerobos masuk ke dalam sejarah umat manusia melalui Yesus, menghadapi, memerangi, dan mengalahkan kejahatan, menyebarluaskan kesejahteraan pribadi dan komunal yang lestari, mengayomi umat-Nya dengan memberkati dan mengklaimnya secara total selaku milik-Nya.

Gerejalah yang dimaksudkan menjadi masyarakat Kerajaan itu, suatu model penuntun dari suatu persekutuan yang sudah menempatkan dirinya di bawah pemerintahan Allah, dan suatu alternatif yang menjadi tantangan bagi masyarakat sekuler bahwa masuk ke dalam Kerajaan Allah berarti masuk ke dalam suatu zaman yang baru, yang sejak lama sudah dijanjikan dalam Kitab Perjanjian Lama, dan kini kita sedang menantikan penggenapan Kerajaan Allah itu secara sempurna apabila tubuh kita, masyarakat kita dan alam semesta akan diperbaharui, dan segala dosa, kesakitan, kesia-siaan, penyakit serta kematian akan dihapuskan semuanya.

Kedua, kita tidak boleh memisah Yesus sebagai Juruselamat dari Yesus sebagai Tuhan. Kedengarannya hampir tidak masuk akal, namun kenyataannya ialah bahwa banyak yang berpendapat, boleh menerima Yesus sebagai Juruselamat sementara mereka menunda penyerahan diri kepada-Nya sebagai Tuhan.
Dari kedudukan sebagai penguasa tertinggi dan yang berdaulat untuk bertindak, Ia dapat melimpahkan keselamatan dan karunia Roh. Justru karena Ia adalah Tuhan maka Ia dapat menyelamatkan.
Ke-Tuhanan-Nya jauh melampaui bidang kecil hidup keagamaan kita, dan mencakup semua bidang pengalaman kita baik yang terbuka kepada dunia luar maupun yang tersembunyi, di rumah, di gereja, sebagai warga negara atau dalam tanggung jawab Injili maupun tanggung jawab sosial kita.

Ketiga, kita tidak boleh memisahkan iman dari kasih. Orang Kristen memang selalu menitikberatkan Iman. Solafide, “hanya oleh iman” adalah salah satu semboyan Reformasi, yang memang tidak boleh diragukan lagi. ‘Pembenaran’ kita atau lebih tepat lagi pemulihan kelayakan kita di hadapan Allah, itu bukan terjadi karena amal baik yang telah kita lakukan atau yang dapat kita lakukan, itu terjadi semata-mata berkat anugerah Allah, yang sebenarnya kita tidak layak menerimanya, dan diberikan hanya karena atas dasar kerelaan Yesus Kristus menebus kita dari dosa dan maut melalui kematian-Nya dan dengan cara sederhana menaruh percaya kita pada Dia.

Kebenaran Injil yang sentral ini memang tidak bisa di tawar-tawar. Tapi, meskipun pemulihan kelayakan manusia hanya dapat terjadi semata-mata berkat iman, namun iman itu bukan iman yang menganggur atau berpangku tangan. Ia adalah otentik artinya ia hidup dan akan langsung menampakkan diri dalam wujud perbuatan-perbuatan baik. Jika tidak ia adalah iman yang palsu.
Yesus sendiri telah mengajarkan ini kepada kita dalam gambaran yang diberikan-Nya tentang pemisahan ‘domba’ dari ‘kambing’ pada Hari Penghakiman Terakhir.


1 komentar: